Sukses

IHSG Anjlok Tersengat Trump Picu Perang Dagang

Laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali tertekan selama sepekan dengan turun 1,5 persen.

Liputan6.com, Jakarta - Gerak Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali tertekan pada pekan ini. Saham kapitalisasi besar bebani laju IHSG.

Mengutip laporan PT Ashmore Assets Management Indonesia, IHSG turun 1,5 persen dari posisi 6.304 pada 9 Maret 2018 menjadi 6.210,69 pada Jumat 23 Maret 2018.

Tekanan IHSG tersebut didorong saham-saham kapitalisasi besar yang merosot 1,9 persen selama sepekan. Sedangkan saham kapitalisasi kecil melemah tipis 0,1 persen. Investor asing masih lanjutkan aksi jual pada pekan ini. Tercatat aksi jual investor asing mencapai USD 272 juta atau sekitar Rp 3,74 triliun (asumsi kurs Rp 13.759 per dolar Amerika Serikat).

Di pasar obligasi atau surat utang juga melemah. Indeks BINDO turun 0,08 persen selama sepekan. Imbal hasil obligasi pemerintah bertenor 10 tahun turun 20 basis poin menjadi 6,9 persen. Investor asing beli obligasi USD 404 juta atau sekitar Rp 5,55 triliun.

Ashmore mencatat ada sejumlah faktor mempengaruhi pasar keuangan baik dari eksternal dan internal. Vice President Sales and Marketing Distribution, PT Ashmore Assets Management Indonesia, Lydia Toisuta menuturkan, pada pekan ini pertemuan bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve selama dua hari menjadi sorotan.

Seperti diperkirakan pelaku pasar, the Federal Reserve menaikkan suku bunga 25 basis poin, Pejabat the Federal Reserve juga menekankan kenaikan suku bunga sebanyak tiga kali. “Ini menenangkan pasar meski Powell (Gubernur The Fed-red) menekan menaikkan suku bunga secara bertahap,” ujar Lydia.

The Federal Reserve diperkirakan menaikkan suku bunga sebanyak tiga kali pada 2019 sehingga menjadi 2,9 persen dan 3,4 persen. Dengan melihat kondisi itu, the Federal Reserve dinilai kurang optimistis terhadap pertumbuhan 2018 meski kebijakan fiskal dan pemotongan pajak. Diprediksi kebijakan pajak itu berdampak pada 2019.

Lydia menuturkan, pasar juga bereaksi negatif terhadap potensi perang dagang Amerika Serikat dan China. Ini lantaran China mengumumkan akan menerapkan tarif impor terhadap 128 produk AS mulai dari babi, anggur, buah dan baja. Pemerintahan China mengatakan akan mempertimbangkan langkah lebih untuk hadapi AS jika tidak meraih kesepakatan dengan AS.

Langkah China tersebut dipicu dari Presiden AS Donald Trump menandatangani memorandum penerapan tarif impor barang China dapat mencapai USD 60 miliar.

Selain itu, dari Jepang, harga barang konsumen naik 1,5 persen pada Februai 2018. Angka itu lebih rendah dari perkiraan pasar 1,7 persen. Angka inflasi itu termasuk tertinggi sejak Maret 2015. Kenaikan inflasi dipicu dari kenaikan biaya transportasi dan makanan.

Bank sentral Inggris memutuskan suku bunga tetap 0,5 persen. Ini sebagai respons dari ketatnya pasar tenaga kerja dan inflasi diharapkan naik di atas dua persen.

Sedangkan dari dalam negeri, Lidya menuturkan, penetapan suku bunga oleh Bank Indonesia (BI) menjadi perhatian pasar. BI tetap pertahankan suku bunga 4,25 persen. Selain itu, BI prediksi pertumbuhan ekonomi kuartal I 2018 bakal lebih tinggi dari kuartal I 2017 ini didorong dari investasi dan belanja pemerintah. BI juga mengantisipasi kenaikan suku bunga the Federal Reserve.

Lydia menambahkan, pemerintah Indonesia berencana membuat skema baru tarif tol juga jadi perhatian pelaku pasar. Presiden Joko Widodo (Jokowi) bertemu dengan menteri pekerjaan umum dan perumahan rakyat, menteri perhubungan dan operator jalan tol untuk bicarakan rencana pengurangan tarif tol. Hal ini terjadi usai ada keluhan sopir truk logistik mengenai mahalnya tarif tol. Menurut operator tol, skema baru tarif tol tersebut dapat dilakukan asal menambah masa konsensi. Sentimen tersebut juga menekan laju IHSG.

 

2 dari 3 halaman

Faktor yang Dicermati ke Depan

Lydia menuturkan, pemerintahan AS akan memungut tarif impor barang China mencapai USD 50 miliar. Sentimen tersebut menekan bursa saham global. Bursa saham AS atau disebut wall street anjlok tiga persen. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat bergejolak di awal perdagangan Jumat pagi kemarin hingga akhirnya ditutup melemah 0,69 persen. Sedangkan aset safe haven positif.

Adapun pelaku pasar menunggu 15 hari hingga AS akan mengumumkan daftar produk China yang akan disesuaikan. Setelah itu, jika daftar disetujui kemudian aka nada waktu 30 hari untuk peninjauan.

“Selama periode 15 hari ini, volatilitas akan tetap tinggi. Namun kami pikir pembalasan China de dengan mengumumkan 128 produk AS kena tarif menunjukkan jumlah lebih kecil adalah sinyal negosiasi,” jelas dia.

Ia menambahkan, kemungkinan kesepakatan dapat tercapai mengingat janji kampanye Trump untuk kurangi defisit perdagangan dengan China. Hal itu akan memberi Trump modal politik lebih tinggi.

Adapun perang dagang dampaknya terhadap produk domestik bruto (PDB) China. Namun bagi China jika membalas perang dagang dengan depresiasi yuan dan menjual surat berharga AS akan merusak mitra dagangnya termasuk Indonesia. “Kami pikir hal tersebut kemungkinan kecil,” ujar Lydia.

 

3 dari 3 halaman

Selanjutnya

Lydia menuturkan, terlalu tidak ada perubahan signifikan untuk kinerja keuangan perusahaan di Indonesia pada kuartal I 2018. Ini ditunjukkan dari pertumbuhan penjuaaln ritel sekitar 5-12 persen, penjualan mobil relatif kuat, pertumbuhan penjualan semen mencapai delapan persen. Kemudian proyek infrastruktur sesuai proyeksi dan harapan. “Hasil pendapatan kuartal I 2018 juga seharusnya tidak mengecewakan,” ujar dia.

Kemudian, kinerja fiskal pemerintah juga masih cukup baik. Ini ditunjukkan dari pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai (PPN) yang masing-masing tumbuh 11 persen dan 18 persen secara year on year (YoY).

Akan tetapi, nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dan neraca perdagangan masih defisit jadi sentimen negatif.

Selain itu, faktor global juga masih membayangi ekonomi Indonesia. Salah satunya kebijakan the Federal Reserve (The Fed). Kemungkinan the Fed menaikkan suku bunga sebanyak tiga kali pada 2018. Namun risiko kebijakan suku bunga the Fed mereda. “Kami melihat risiko terbesar dari perang dagang,” ujar Lydia.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini: