Liputan6.com, Jakarta: Bangsa ini lagi-lagi harus menapaki lintasan sejarah yang mengusik hati nurani sekaligus mengerikan. Penyakit busung lapar atau marasmus kwashiorkor tiba-tiba muncul di sejumlah provinsi di Tanah Air. Fenomena gunung es yang melukiskan kekurangan protein kronis pada anak-anak ini juga muncul di daerah yang selama ini dikenal sebagai daerah lumbung beras, seperti Nusatenggara Barat, Sulawesi Selatan, Sumatra Barat, dan Lampung.
Secara nasional, kasus busung lapar yang menyerang anak-anak usia di bawah lima tahun di Indonesia mencapai angka delapan persen. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah anak usia 0-4 tahun mencapai 20,87 juta pada 2005. Artinya, jumlah balita yang menderita busung lapar saat ini sekitar 1,67 juta jiwa. Ironisnya, kondisi ini terjadi ketika Indonesia digembar-gemborkan telah meninggalkan kemiskinan.
"Ada yang salah di negeri ini," ujar Drajat Martianto, peneliti Departemen Gizi Masyarakat Institut Pertanian Bogor dalam dialog Topik Minggu Ini di Studio SCTV, Jakarta, Rabu (8/6) malam. Hadir pula Gubernur NTB Lalu Serinata dalam acara yang dipandu reporter SCTV Bayu Sutiyono.
Menurut Drajat, sebenarnya Indonesia telah mempunyai sistem peringatan dini yang dapat mengantisipasi mewabahnya penyakit, yakni pos pelayanan terpadu (posyandu). Jika posyandu itu benar-benar diefektifkan, kasus-kasus seperti busung lapar sudah dapat diatasi. "Tapi itu yang tak kita lakukan," ujar Drajat. Kendati begitu, Drajat mengakui ada beberapa faktor lain di luar masalah teknis yang menyebabkan busung lapar marak di Tanah Air.
Kemiskinan kini menjadi salah satu penyebab utama anak-anak kurang gizi hingga busung lapar. Namun, kasus busung lapar yang terjadi di NTB, justru menjadi hal mengejutkan. Pasalnya, NTB justru salah satu daerah penghasil pangan. "Saya kira ini bukan aib. Tapi, realitas yang harus kita hadapi," kata Lalu.
Menurut Lalu, tak selamanya busung lapar itu dikaitkan dengan kekurangan pangan. Sebab, jika pangan tercukupi tanpa gizi, tetap saja akan terjangkit. "Daya beli masyarakat di sana rendah," ujar Lalu. Kendati begitu, dia mengakui, busung lapar di wilayahnya marak lantaran dia telat mendapat laporan dari bawahannya [baca: Penderita Busung Lapar di NTB Terus Bertambah].
Drajat menjelaskan, busung lapar adalah masalah yang kompleks. Sebab, bisa juga terjadi akibat kesalahan pola asuh dan pola makan. Mengenai pola asuh, Drajat menjelaskan, banyak penderita busung lapar diasuh bukan oleh orang tuanya. Mereka biasa diasuh sanak keluargnya. Sedangkan orang tuanya banyak yang menjadi tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Kondisi ini dapat menyebabkan pola makan yang tak baik. Kurangnya fasilitas kesehatan juga menjadi salah satu faktor maraknya busung lapar.
Drajat juga mengimbau sejumlah pemerintah daerah untuk meningkatkan alokasi dana buat pelayanan kesehatan. Namun, alokasi dana itu bukan pembangunan fisiknya saja. Tapi, juga untuk menunjang pelayanan kesehatan itu sendiri. Termasuk dengan meningkatkan jumlah penyuluh kesehatan.
Busung lapar atau dalam bahasa Belanda disebut Honger Oedem tak hanya terjadi di masa penjajahan. Namun, anak-anak Indonesia justru menderita penyakit yang identik dengan kemiskinan ini setelah 60 tahun merdeka. Ironisnya, pemerintah pada awalnya tak begitu menggubris. Bahkan, Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Alwi Shihab pernah menyatakan, busung lapar yang diderita anak-anak di NTB adalah kecelakaan. Seolah-olah, penyakit ini terjadi dalam waktu cepat dan mendadak. Padahal, busung lapar terjadi secara perlahan dan dalam proses yang berkelanjutan.
Pemerintah boleh berkata dan berencana. Tapi, yang pasti fakta di sejumlah daerah tak dapat dimungkiri bahwa anak-anak itu belum mendapatkan penanganan maksimal. Akhirnya pemerintah pusat bereaksi setelah masalah ini disebut kejadian luar biasa. Banyak pihak menuding penanganan itu begitu lambat karena saat kasus ini terungkap di NTB, pemerintah daerah setempat justru lebih banyak melakukan tindakan-tindakan seremonial. Bahkan, pejebat setempat meminta agar kasus ini tidak dibesar-besarkan.
NTB boleh jadi salah satu wilayah penderita busung lapar yang cukup serius. Di wilayah ini, hingga petang tadi, tercatat 699 anak menderita busung lapar, 13 di antaranya sudah meninggal. Kondisi anak-anak yang tak tumbuh sehat juga menjadi pemandangan di sejumlah kawasan di Nusatenggara Timur. Jumlah anak yang menderita gizi buruk dan busung lapar mencapai 66.680 anak. Sebanyak 131 anak di antaranya sudah positif busung lapar. Korban tewas pun terus berjatuhan [baca: Sudah Belasan Penderita Busung Lapar Meninggal].
Gizi buruk yang diderita anak-anak, khususnya balita tak mengenal waktu dan tempat. Kondisi ini bahkan sudah terjadi di Indonesia sejak dahulu dan tetap menjadi persoalan hingga sekarang. Masyarakat yang belum sejahtera dan kesulitan mendapatkan akses pelayanan kesehatan, membuat anak-anak tak bisa menikmati masa kecil yang sehat dan bahagia. Tragisnya busung lapar ini juga bisa menghilangkan satu generasi.(ORS/Tim Liputan 6 SCTV)
Secara nasional, kasus busung lapar yang menyerang anak-anak usia di bawah lima tahun di Indonesia mencapai angka delapan persen. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah anak usia 0-4 tahun mencapai 20,87 juta pada 2005. Artinya, jumlah balita yang menderita busung lapar saat ini sekitar 1,67 juta jiwa. Ironisnya, kondisi ini terjadi ketika Indonesia digembar-gemborkan telah meninggalkan kemiskinan.
"Ada yang salah di negeri ini," ujar Drajat Martianto, peneliti Departemen Gizi Masyarakat Institut Pertanian Bogor dalam dialog Topik Minggu Ini di Studio SCTV, Jakarta, Rabu (8/6) malam. Hadir pula Gubernur NTB Lalu Serinata dalam acara yang dipandu reporter SCTV Bayu Sutiyono.
Menurut Drajat, sebenarnya Indonesia telah mempunyai sistem peringatan dini yang dapat mengantisipasi mewabahnya penyakit, yakni pos pelayanan terpadu (posyandu). Jika posyandu itu benar-benar diefektifkan, kasus-kasus seperti busung lapar sudah dapat diatasi. "Tapi itu yang tak kita lakukan," ujar Drajat. Kendati begitu, Drajat mengakui ada beberapa faktor lain di luar masalah teknis yang menyebabkan busung lapar marak di Tanah Air.
Kemiskinan kini menjadi salah satu penyebab utama anak-anak kurang gizi hingga busung lapar. Namun, kasus busung lapar yang terjadi di NTB, justru menjadi hal mengejutkan. Pasalnya, NTB justru salah satu daerah penghasil pangan. "Saya kira ini bukan aib. Tapi, realitas yang harus kita hadapi," kata Lalu.
Menurut Lalu, tak selamanya busung lapar itu dikaitkan dengan kekurangan pangan. Sebab, jika pangan tercukupi tanpa gizi, tetap saja akan terjangkit. "Daya beli masyarakat di sana rendah," ujar Lalu. Kendati begitu, dia mengakui, busung lapar di wilayahnya marak lantaran dia telat mendapat laporan dari bawahannya [baca: Penderita Busung Lapar di NTB Terus Bertambah].
Drajat menjelaskan, busung lapar adalah masalah yang kompleks. Sebab, bisa juga terjadi akibat kesalahan pola asuh dan pola makan. Mengenai pola asuh, Drajat menjelaskan, banyak penderita busung lapar diasuh bukan oleh orang tuanya. Mereka biasa diasuh sanak keluargnya. Sedangkan orang tuanya banyak yang menjadi tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Kondisi ini dapat menyebabkan pola makan yang tak baik. Kurangnya fasilitas kesehatan juga menjadi salah satu faktor maraknya busung lapar.
Drajat juga mengimbau sejumlah pemerintah daerah untuk meningkatkan alokasi dana buat pelayanan kesehatan. Namun, alokasi dana itu bukan pembangunan fisiknya saja. Tapi, juga untuk menunjang pelayanan kesehatan itu sendiri. Termasuk dengan meningkatkan jumlah penyuluh kesehatan.
Busung lapar atau dalam bahasa Belanda disebut Honger Oedem tak hanya terjadi di masa penjajahan. Namun, anak-anak Indonesia justru menderita penyakit yang identik dengan kemiskinan ini setelah 60 tahun merdeka. Ironisnya, pemerintah pada awalnya tak begitu menggubris. Bahkan, Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Alwi Shihab pernah menyatakan, busung lapar yang diderita anak-anak di NTB adalah kecelakaan. Seolah-olah, penyakit ini terjadi dalam waktu cepat dan mendadak. Padahal, busung lapar terjadi secara perlahan dan dalam proses yang berkelanjutan.
Pemerintah boleh berkata dan berencana. Tapi, yang pasti fakta di sejumlah daerah tak dapat dimungkiri bahwa anak-anak itu belum mendapatkan penanganan maksimal. Akhirnya pemerintah pusat bereaksi setelah masalah ini disebut kejadian luar biasa. Banyak pihak menuding penanganan itu begitu lambat karena saat kasus ini terungkap di NTB, pemerintah daerah setempat justru lebih banyak melakukan tindakan-tindakan seremonial. Bahkan, pejebat setempat meminta agar kasus ini tidak dibesar-besarkan.
NTB boleh jadi salah satu wilayah penderita busung lapar yang cukup serius. Di wilayah ini, hingga petang tadi, tercatat 699 anak menderita busung lapar, 13 di antaranya sudah meninggal. Kondisi anak-anak yang tak tumbuh sehat juga menjadi pemandangan di sejumlah kawasan di Nusatenggara Timur. Jumlah anak yang menderita gizi buruk dan busung lapar mencapai 66.680 anak. Sebanyak 131 anak di antaranya sudah positif busung lapar. Korban tewas pun terus berjatuhan [baca: Sudah Belasan Penderita Busung Lapar Meninggal].
Gizi buruk yang diderita anak-anak, khususnya balita tak mengenal waktu dan tempat. Kondisi ini bahkan sudah terjadi di Indonesia sejak dahulu dan tetap menjadi persoalan hingga sekarang. Masyarakat yang belum sejahtera dan kesulitan mendapatkan akses pelayanan kesehatan, membuat anak-anak tak bisa menikmati masa kecil yang sehat dan bahagia. Tragisnya busung lapar ini juga bisa menghilangkan satu generasi.(ORS/Tim Liputan 6 SCTV)