Sukses

Jejak Tragedi Mei 1998 Masih Sulit Diungkap

Komnas HAM dinilai tak berwenang memeriksa para jenderal yang diduga terlibat Tragedi Mei 1998. Para perwira yang dituduh berhak menolak panggilan paksa ala Tim Ad Hoc bentukan Komnas HAM.

Liputan6.com, Jakarta: Penuntasan Tragedi Mei 1998 masih jauh panggang dari api. Segala usaha untuk mencari benang merah kasus tersebut selalu membentur tembok. Rencana Komisi Nasional Hak Asasi Manusia memanggil sembilan perwira tinggi dan menengah TNI-Polri yang tersangkut masalah ini pun tak gol. Alasannya, Komnas HAM dinilai tak berhak melakukan penyelidikan hukum atau pro-justisia sebelum terbentuk pengadilan HAM Ad Hoc. Jadilah pengungkapan kasus tetap di atas awan.

Adalah Juru Bicara Tim Advokasi Personel TNI Tommy Sihotang yang mengungkapkan keberatan tersebut. Baru-baru ini dia mengatakan, Jenderal TNI Purnawirawan Wiranto, Letnan Jenderal (Purn) Prabowo Subianto, Mayor Jenderal TNI Sjafrie Sjamsoeddin, dan yang lainnya tak bisa diperiksa Tim Ad Hoc bentukan Komnas HAM [baca: Tim Penyelidik Kerusuhan Mei 1998 Dibentuk ]. Dan, mereka pun berhak menolak pemanggilan sebelum presiden atas usul DPR membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc.

Menurut Tommy, Komnas HAM baru bisa memanggil perwira dan mantan perwira yang terlibat kasus tersebut bila Tim Ad Hoc Kerusuhan Mei memenuhi semua prosedur hukum yang ada. Sebab kalau tidak, tim tersebut sama saja dengan menyalahi asas nonreproaktif atau sedang melakukan pengusutan terhadap sesuatu peristiwa yang terjadi jauh hari sebelum Undang-undang Nomor 26/2000 tentang Pengadilan HAM.

Menilik peristiwanya, lembaran hitam sejarah Indonesia tersebut memang terjadi lima tahun silam. Ketika itu, anarkisme, penjarahan, pembakaran hingga pembunuhan terjadi di Jakarta. Segalanya berawal dari Kampus Trisakti, Grogol, Jakarta Barat. Di sana, suatu petang, hasrat mahasiswa untuk long march di Jalan S. Parman, Jakbar, dihadang tentara dan polisi. Suasana panas. Bentrokan antara kedua kubu pun meletus. Karena tak seimbang, mahasiswa yang kocar kacir berusaha menyelamatkan diri masuk ke Kompleks Universitas Trisakti. Tapi, aparat terus mengejar sampai akhirnya diketahui ada enam mahasiswa tewas diterjang peluru.

Kabar enam mahasiswa tewas ditembak aparat mengundang reaksi besar. Massa marah. Lantas massa merusak, membakar, dan menjarah. Aparat tak dapat meredam dan mencegah aksi premanisme yang berlangsung selama dua hari tersebut. Ironisnya, setelah aksi tersebut, baru diketahui ratusan orang terjebak di dalam gedung yang terbakar [baca: "Aku Melihat Anakku Terbakar"]. Mereka mati sia-sia tanpa dapat dikenali identitasnya.

Selain peristiwa tersebut, beredar kabar juga terjadi tindak kekerasan kepada etnis Tionghoa. Mereka diperkosa dan dibunuh. Jumlahnya tak pasti. Yang jelas, cerita buram ini hendak dikaburkan. Buktinya, para pejabat yang notabene saat itu bertanggung jawab atas kasus ini bungkam. Mereka saling melempar wewenang [baca: Tim Penyelidik Kerusuhan Mei Akan Memanggil Wiranto]. Sampai akhirnya berkembang isu: peristiwa yang mengawali kejatuhan bekas Presiden Soeharto itu adalah rekayasa. Benarkah demikian? Komnas HAM kini tengah berusaha menguaknya.(ICH/Tim Liputan 6 SCTV)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.