Liputan6.com, Jakarta: Datang dan pergi, bencana tak bisa diduga. Sekali datang tak jarang meninggalkan penderitaan, kesedihan, bahkan kematian. Aceh sebagai bukti. Ribuan orang tewas, bangunan yang hancur dan harta yang hilang tak terhitung lagi saat gempa disertai gelombang Tsunami datang, sebulan silam. Belum lagi trauma yang dialami warga Aceh pascabencana.
Takdir memang. Namun, bukan berarti harus membiarkan korban yang selamat dibiarkan mati sebelum sempat ditangani. Itulah yang tak diinginkan Prof. Dr. dr. Aryono Djuned Pusponegoro SpBD KBD. Karena itu, ia dan timnya segera bergerak ke Aceh pascabencana. Namun, masih banyak juga yang tak bisa tertangani segera.
Selain karena dahsyatnya bencana, Aryono menyalahkan save community yang selama ini berjalan lemah. "Political will belum dan kesadaran masyarakat kurang," ujar dia dalam acara Topik Minggu Ini SCTV di Jakarta, Rabu (26/1) malam.
Penanganan sebelum dan sesudah bencana memang perlu dilakukan. Hal itu telah ditunjukkan H.M. Lutfi Kamal, Lurah Kampung Melayu, Jakarta Timur, saat menghadapi banjir di wilayahnya, pekan ini. Warga diberikan peringatan dini sebelum banjir datang. Itu dilakukan baik melalui jajaran rukun warga dan rukun tetangga.
Tak lupa pula peringatan bahaya diumumkan melalui pengeras suara di masjid dan musala-musala. Informasi yang diberikan didapat setelah pihak kelurahan mengecek ketinggian air di pintu air Manggarai, Jakarta Selatan dan Depok, Jawa Barat.
Indonesia memang butuh orang-orang seperti Aryono dan Lutfi. Bencana selalu datang silih berganti di sini. Terakhir gempa 6,2 skala Richter mengguncang Donggala dan Palu, Sulawesi Tengah. Seorang tewas tertimpa reruntuhan bangunan rumah dalam peristiwa ini. Gempa juga mengakibatkan puluhan warga luka-luka hingga harus dirawat di Rumah Sakit Undata, Palu.
Gempa turut menyebabkan kepanikan di Kota Palu. Warga berbondong-bondong lari ke daerah perbukitan karena khawatir guncangan akan disusul gelombang Tsunami seperti yang terjadi di Aceh. Padahal, Badan Meteorologi dan Geofisika Wilayah IV Makassar, Sulawesi Selatan, menyatakan gempa ini tak akan menimbulkan Tsunami.(AWD/Tim Liputan 6 SCTV)
Takdir memang. Namun, bukan berarti harus membiarkan korban yang selamat dibiarkan mati sebelum sempat ditangani. Itulah yang tak diinginkan Prof. Dr. dr. Aryono Djuned Pusponegoro SpBD KBD. Karena itu, ia dan timnya segera bergerak ke Aceh pascabencana. Namun, masih banyak juga yang tak bisa tertangani segera.
Selain karena dahsyatnya bencana, Aryono menyalahkan save community yang selama ini berjalan lemah. "Political will belum dan kesadaran masyarakat kurang," ujar dia dalam acara Topik Minggu Ini SCTV di Jakarta, Rabu (26/1) malam.
Penanganan sebelum dan sesudah bencana memang perlu dilakukan. Hal itu telah ditunjukkan H.M. Lutfi Kamal, Lurah Kampung Melayu, Jakarta Timur, saat menghadapi banjir di wilayahnya, pekan ini. Warga diberikan peringatan dini sebelum banjir datang. Itu dilakukan baik melalui jajaran rukun warga dan rukun tetangga.
Tak lupa pula peringatan bahaya diumumkan melalui pengeras suara di masjid dan musala-musala. Informasi yang diberikan didapat setelah pihak kelurahan mengecek ketinggian air di pintu air Manggarai, Jakarta Selatan dan Depok, Jawa Barat.
Indonesia memang butuh orang-orang seperti Aryono dan Lutfi. Bencana selalu datang silih berganti di sini. Terakhir gempa 6,2 skala Richter mengguncang Donggala dan Palu, Sulawesi Tengah. Seorang tewas tertimpa reruntuhan bangunan rumah dalam peristiwa ini. Gempa juga mengakibatkan puluhan warga luka-luka hingga harus dirawat di Rumah Sakit Undata, Palu.
Gempa turut menyebabkan kepanikan di Kota Palu. Warga berbondong-bondong lari ke daerah perbukitan karena khawatir guncangan akan disusul gelombang Tsunami seperti yang terjadi di Aceh. Padahal, Badan Meteorologi dan Geofisika Wilayah IV Makassar, Sulawesi Selatan, menyatakan gempa ini tak akan menimbulkan Tsunami.(AWD/Tim Liputan 6 SCTV)