Misteri Arca Borobudur yang Hilang

Arca Indonesia yang bernilai historis tinggi amat diminati kolektor asing. Di Soho, New York, AS, sebuah arca kecil yang mirip aslinya dihargai ribuan dolar AS. Balai lelang Christie`s tersandung kasus Arca Aksobhya.

oleh Liputan6 diperbarui 08 Mei 2005, 16:49 WIB
Liputan6.com, New York: Balai Lelang Christie`s dikenal sebagai balai lelang bergengsi. Akhir Maret silam, Balai Lelang Christie`s berencana melelang Arca Aksobhya di Manhattan, New York, Amerika Serikat. Pelelangan arca kuno ini menarik perhatian para kolektor seni dan benda purbakala. Pasalnya, arca antik ini berasal dari Candi Borobudur, salah satu warisan dunia yang tersisa.

Namun, pelelangan arca berumur sekitar 1.000 tahun ini segera menimbulkan kehebohan. Adalah Sjahrial Djalil, kolektor langganan Christie`s di Jakarta yang mengetahui pelelangan ini. Sjahrial melaporkan pelelangan itu kepada pemerintah Indonesia. Bak kebakaran jenggot, pemerintah melalui Kementerian Budaya dan Pariwisata mengirim surat protes untuk menunda pelelangan arca itu. Staf Penerangan Kedutaan Besar Republik Indonesia Riaz Saehu mengatakan Konsulat Jenderal Indonesia di New York telah menghubungi balai lelang itu.

Pemerintah wajar berbuat demikian sebab banyak benda purbakala Indonesia yang dicuri dan diselundupkan ke luar negeri. Apalagi Indonesia telah mempunyai Undang-undang Nomor 5/1992 yang melindungi dan memelihara benda cagar budaya warisan budaya bangsa.

Akibat protes pemerintah, Christie`s memutuskan menarik Arca Aksobhya dari daftar lelang. Penarikan terpaksa dilakukan karena sedang berlangsung penyelidikan mengenai pemilik sah Arca Aksobhya. Sejumlah media menyebutkan, arca yang sedianya dilelang seharga Rp 3,5 miliar itu kepunyaan Dr. William T. Price, kolektor asal Amerika Serikat yang berdiam di Amarillo, Texas, AS. Price dan istrinya dikenal sebagai kolektor khusus benda seni Asia. Awal April silam, museum seni Kota Amarillo sempat memamerkan koleksi pribadi Price untuk khalayak umum.

Price menolak diwawancarai Tim Sigi. Namun, melalui perbincangan telepon dengan reporter Voice of America, Price mengaku membeli Arca Aksobhya pada 1980-an. Dia membeli arca itu dari seorang pedagang benda seni di Paris, Prancis. Price mengklaim arca Borobudur itu dilengkapi surat izin resmi.

Belakangan terungkap pelelangan arca kuno dari situs purbakala Indonesia bukan yang pertama kali terjadi. Sjahrial yang telah 20 tahun menjadi pelanggan Christie`s sering menjumpai benda cagar budaya Nusantara diperdagangkan di New York.

Christie`s bukan satu-satunya lembaga penyimpan artefak Candi Borobudur. Bahkan, sejak lama Institut Smithsonian mengoleksi benda seni Borobudur secara khusus di museum badan ini di Washington D.C. Sewaktu Tim Sigi berkunjung ke museum itu, lembaga ini sedang berkeliling dunia memamerkan koleksi Borobudur. Hanya patung kepala Buddha yang ditinggal. Namun, pihak Smithsonian menolak menerangkan asal usul koleksi Borobodur itu. Mereka beranggapan, pertanyaan itu termasuk sensitif.

Banyaknya peminat arca Borobodur--baik individu maupun lembaga--tak mengherankan. Candi Borobudur telah dikenal keindahannya. Candi berumur lebih seribu tahun ini telah ditetapkan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1991 sebagai World Heritage (Warisan Dunia) yang harus dilindungi. Sebagaimana artefak kuno lainnya, arca ini banyak diburu kolektor kakap. Tentu saja, harga yang ditawarkan amat menggiurkan.

Di Soho--suatu kawasan trendi di New York--bahkan dijual arca-arca mirip Aksobhya. Harga satu arca kecil mencapai seribu dolar AS. Ini berarti beratus-ratus kali dari harga asli pengrajin di Indonesia. Annie Lee, seorang penjual, mengaku arca-arcanya berasal dari Borobudur. Namun, perempuan ini tak berani mengatakan bahwa arca-arca itu adalah arca asli. "They`re from Borobodur, in Borobudur style. We don`t claim it to be authentic," ujar Lee.

Layaknya benda seni lain, arca itu memang rawan pemalsuan. Para pematung di Muntilan, Magelang, Jawa Tengah, misalnya. Sekitar 5.000-an pematung bisa dengan mudah memproduksi arca ini. Galeri mereka berderet di sejumlah jalan di Muntilan. Salah satu galeri yang telah puluhan tahun memproduksi arca-arca baru tapi bertampang kuno adalah Galeri Syailendra milik Kasrinindyo Prayono.

Kasrin berani menduga arca Buddha di Galeri Christie`s itu bukan arca asli. Dia mengatakan kemungkinan arca itu mirip arca buatannya. Sekelompok pematung lain tak kalah piawai dibandingkan Kasrin. Dalam tempo sehari, para pematung ini sanggup menyulap arca baru menjadi tampak kuno. Setelah arca dilapisi kunyit, arca dibakar. Kemudian arca diolesi bahan kimia jawa lain, berupa pelepah pisang. Setelah ini, arca dibakar lagi buat kedua kalinya. Untuk memunculkan pori-pori arca sehingga terkesan dimakan zaman, arca disiram air teh dan kopi kental.

Namun, dosen arkelogi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Niken Wirasanti menyatakan, tak sulit membedakan antara arca kuno dengan arca baru bikinan para pematung itu. "Untuk menilai, ada ukuran-ukurannya sendiri," kata Niken. Arca kuno, misalnya. Jarak dagu arca dengan tempat duduknya mempunyai ukuran tertentu. Hal ini diamini kolega Niken, Djoko Dwiyanto. Gaya memahat seniman patung zaman kuno jauh berbeda dengan para pemahat abad ini. Cara terampuh untuk membedakanya adalah dengan analisis fisika batuan. Biasanya dilakukan di balai studi dan konservasi Borobudur yang memiliki perangkat laboratorium lengkap.

Tak urung, perhatian pemerintah terhadap Arca Aksobhya di New York itu menimbulkan komentar sinis. Selama ini, pemerintah dinilai kurang memberi perhatian yang layak terhadap warisan budaya Nusantara. Banyak peninggalan zaman dulu yang luput dari perhatian dan perlindungan pemerintah dari tangan-tangan yang tak bertanggung jawab.

Tak sedikit relief dan arca yang rusak ditemukan di Candi Borobudur. Bahkan ada juga arca yang hilang dari situsnya. Ditengarai, Arca Aksobhya yang di New York diyakini sebagai satu dari tujuh arca sejenis yang hilang dari Candi Borobudur sejak puluhan tahun silam.

Tim Sigi bersama arkeolog UGM dan petugas konservasi Borobudur sempat menelusuri lokasi hilangnya arca itu, satu per satu. Pada tingkat satu di sisi timur candi ditemukan empat arca yang raib entah ke mana. Di lantai dua juga ditemukan dua arca Buddha sejenis yang hilang. Satu arca Buddha lain yang hilang dari situsnya ditemukan di tingkat empat candi.

Jadi, jika benar Arca Aksobhya yang batal dilelang itu asli dari Candi Borobudur, tak diragukan benda kuno itu berasal dari salah satu titik yang telah dicek tadi. Catatan resmi menunjukkan masih ada 26 arca lain yang hilang tak tentu rimbanya.

Sejumlah candi lain yang berada di sekitar Borobudur juga berada dalam kondisi tak terawat. Umpamanya di Candi Ngawen. Dari lima candi yang ada, hanya tersisa satu candi yang masih utuh. Sisanya tinggal ongggokan batu tak terawat. Arca-arcanya raib tak berbekas. Suasana hampir sama terlihat di Candi Pendem, Lumbung, dan Asu di Desa Sengi, Kecamatan Dukut--tak jauh dari Borobudur.

Saat ini, Arca Aksobhya yang ada di New York masih diselidiki legal tidaknya barang kuno itu. Pemerintah AS melalui Department of Homeland Security turun tangan untuk mengungkap kasus ini. Diduga, arca ini sampai ke New York melalui jalur tak resmi. Marc Raimondi, agen penyelidik Department of Homeland Security, menolak memberikan keterangan soal kasus ini. Raimondi juga tak bersedia mengkonfirmasi sejauh mana perkembangan investigasi yang dilakukan.

Berdasarkan riset Tim Sigi selama tahun `90-an, sekurangnya terjadi 130 kasus pencurian cagar budaya. Hanya 20 kasus yang berhasil terungkap. Sejauh ini, masih sulit menaksir seberapa besar benda tak ternilai itu yang ada di tangan kolektor lokal maupun asing. Data resmi menyebutkan sepanjang tahun lalu tercatat 224 kasus penyelundupan benda kuno yang digagalkan petugas bea dan cukai. Benda antik itu ditemukan bersamaan dengan 156 benda budaya lainnya. Pasar barang antik sepertinya tak pernah sepi peminat. Tak peduli legal ataupun ilegal.

Arca, candi, dan artefak kuno lain tak hanya sekadar karya seni. Lebih dari itu, benda purbakala adalah saksi otentik sejarah peradaban manusia. Kita bisa belajar banyak dari peninggalan leluhur itu. Tampaknya memang bukan langkah patut menjadikan benda yang tak ternilai itu sebagai barang dagangan.(MAK/Tim Sigi)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya