Willy Wijaya Membuka Harapan di Lahan Kritis

Willy Wijaya, petani dari NTB, telah menciptakan modifikasi alat penghisap air tanah untuk pengairan tanaman di lahan kering. Ia adalah petani yang berhasil memanfaatkan tumbuhan di lahan kritis.

oleh Liputan6 diperbarui 25 Sep 2005, 16:03 WIB
Liputan6.com, Mataram: Tanah bagi sebagian penduduk di Pulau Lombok dan Sumbawa, Nusatenggara Barat, berarti harapan. Namun, tanah juga bisa berarti petaka yang hanya dapat direnungi dan disesalkan apabila kondisinya kering, gersang, dan tandus. Lahan ini kerap ditemui di sepanjang wilayah Pulau Lombok dan Sumbawa. Selain karakter geografis, hujan di wilayah itu memang hanya turun selama 2,5 bulan sepanjang tahun.  

Untuk mempertahankan hidup, warga sekitar mencoba mengais tanah di antara tanaman jambu mete dengan mencari bongkahan batu apung. Hasil dari batu apung itu adalah harapan hidup bagi mereka guna dijadikan produk industri.  

Kondisi seperti ini menjadi keprihatinan dan empati tersendiri bagi seorang petani bernama Willy Wijaya. Bagi Willy, lahan seperti itu adalah sebuah harapan. Lantas sejak 1980, laki-laki kelahiran Ampenan, 25 Desember 1938 ini secara swadaya berpikir dan berusaha mencari solusi untuk menjadikan lahan bisa bermanfaat

Saat itu, pilihannya jatuh pada tanaman jarak untuk bisa dimanfaatkan menjadi minyak biodiesel, pengganti minyak bumi. Dalam setiap serat buah jarak terdapat kandungan minyak hingga 50 persen.  

Setelah melakukan berbagai percoban selama hampir delapan tahun, upaya Om Willy--sapaan Willy Wijaya, mulai mendapatkan hasil. Ketekunan Om Willy meneliti buah jarak ini kemudian membuahkan varietas jarak yang kemudian dikenal dengan sebutan jarak beak amor. Dari varietas ini ternyata bisa menghasilkan 10 hingga 15 kilogram buah jarak dari satu pohon dalam satu tahun. Otomatis, minyak yang dihasilkan juga lebih banyak. Sementara dari pohon jarak biasa hanya mampu menghasilkan buah satu hingga tiga kilogram per tahun.

Tak hanya itu, hasil temuannya kemudian diakui oleh Balai Penelitian Pengembangan Serat di Malang, Jawa Timur. Akan tetapi, Om Willy tak puas sampai di situ. Ia kemudian mencari teknologi tepat guna untuk sistem pengairan tanaman di lahan kering.

Pada 2002, dimulailah percobannya dengan menciptakan modifikasi springkel atau alat isap air tanah dengan menggunakan daya tekan mesin. Springkel didatangkan dari Italia, Amerika Serikat dan Israel. Dari alat itu Om Willy mencoba mempelajarinya untuk dapat dimodifikasi agar cocok dengan lahan yang sesuai dengan alam dan karakter tumbuhan kering di Indonesia.

Percobaan Om Willy memodifikasi springkel ternyata membuahkan hasil yang sesuai dengan kebutuhan. Saat alat itu dipraktikkan, springkel modifikasi Om Willy mampu menghasilkan sistem pengairan yang sesuai standar kebutuhan air tanaman kering yakni 50 ribu liter per hektare dalam setiap jam. 

Menurut Om Willy, hasil tersebut sangat menggembirakan. Sebab, sistem pengairan dengan modifikasi springkel itu bukan saja semakin memperbaiki hasil tanaman jarak tetapi juga dapat menghasilkan tanaman jagung unggul.

Kini, upaya tak kenal lelah Om Willy ini telah membuahkan hasil bagi masyarakat yang hidup di lahan kering dan lokasi transmigrasi di NTB. Sementara itu, berbagai penghargaan berskala nasional dan lokal telah banyak ia terima. Di antaranya adalah Anugerah Teknologi Terapan dari Gubernur NTB, Indonesian Development Award, dan penghargaan sebagai perintis dan penemu varietas jarak beak amor.(ZIZ/Adhar Hakim dan Rony Setiawan)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya