Yogyakarta, misalnya, Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (Balai POM) setempat melaporkan enam produsen mi basah kepada polisi. Pasalnya, hasil uji laboratorium menunjukkan kandungan formalin dalam produk-produk enam perusahaan itu berada dalam kadar membahayakan kesehatan. Balai POM Yogyakarta juga menemukan kandungan formalin pada sampel ikan asin yang dijual di sejumlah pasar tradisional dan pusat perbelanjaan modern.
Formalin juga digunakan sebagai bahan pengawet ikan asin dan ikan basah di Lampung. Kesimpulan ini diambil atas hasil uji Balai POM setempat yang mendapatkan 30 persen lebih sampel ikan asin dan ikan basah mengandung formalin dengan kadar sangat berbahaya bagi kesehatan. Sampel penelitian diambil dari pedagang kecil hingga sentra pembuatan ikan asin di berbagai lokasi di Bandar Lampung.
Advertisement
Hal serupa ditemukan di Makassar, Sulawesi Selatan. Hampir separuh produk makanan yang diuji ternyata menggunakan formalin sebagai pengawet. Mayoritas makanan yang diuji berasal dari Pulau Jawa. Produk ikan asin dan tahu yang dihasilkan Sulawesi Selatan malah mengandung pewarna tekstil. Kasus penggunaan formalin pada makanan juga ditemukan di Bandung, Jawa Barat.
Di Jakarta sendiri, yang terang-terangan sudah ditemukan penggunaan formalin sebagai pengawet makanan, belum ada langkah-langkah kongkret seperti penarikan produk. Beberapa produk yang mengandung zat pengawet mayat dan pembunuh kuman itu adalah mi telur merek ZZ, tahu kuning merek Takwa, dan tahu merek Kuring Sari.
Kenyataan merebaknya penggunaan formalin dalam makanan mendorong Departemen Perindustrian mendesak Badan POM segera mengendalikan penggunaan bahan kimia itu karena telah meresahkan masyarakat. Dengan demikian, menurut Menteri Perindustrian Fahmi Idris, tak semua industri makanan dan minuman terkena dampak yang merugikan. Sebelumnya, Fahmi juga meminta pihak polisi segera menindaklanjuti temuan di lapangan [baca: Fahmi Idris Meminta Polri Mengusut Kasus Formalin].
Badan POM sendiri langsung meminta kepolisian menindak tegas para penjual formalin. Lembaga ini juga telah memanggil seluruh Ketua Balai POM daerah untuk berkoordinasi memeriksa kembali penggunaan formalin di masyarakat. Badan POM juga akan meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya formalin.
Untuk mengetahui sebuah produk makanan mengandung formalin atau tidak, terhitung gampang-gampang mudah. Ini seperti diungkapkan dokter Marius Wijayarta, Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia. Tahu misalnya, bisa langsung diketahui dari kekenyalan dan baunya. Lebih mudah lagi, jika tidak pecah setelah dijatuhkan maka tahu tersebut mengandung formalin.
Demikian halnya dengan bakso. "Yang mengandung formalin biasanya membal agak jauh," jelas Marius. Sementara penggunaan formalin pada mi menyebabkan bahan makanan tersebut mengkilap dan kenyal seperti karet alias tidak mudah putus. "Bisa buat main gitar," canda Marius. Sedang untuk ikan yang tidak menggunakan formalin sebagai pengawet bisa diketahui dari insang yang merah segar dan mata yang jernih. Tubuhnya pun tidak kaku.
Lebih jauh, Marius memaparkan penggunaan formalin sebenarnya sudah marak dari dulu. Yang disayangkan, pemerintah hingga kini hanya menjalankan kebijakan peringatan publik bukan sanksi pidana terhadap produsen yang memakai bahan beracun ini. Padahal jika merujuk pada Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999, konsumen berhak mendapatkan informasi dan bisa mengadukan keberatan atas produk yang dibelinya. "Bisa divonis dua tahun penjara atau denda Rp 5 miliar," tegas Marius.
Ironisnya, formalin bisa diperoleh dengan mudah di pasaran. Beragam bentuk mulai dari tablet hingga cair dengan berbagai kadar bisa dibeli di toko-toko kimia. "Bisa diketeng lagi," keluh Marius. Ini sangat disesali karena zat tersebut bisa menyebabkan kematian meski bersifat kumulatif seperti memicu kanker.
Terkait hal itu, Marius menilai konsumen di Tanah Air berada pada posisi yang tidak berdaya. Mereka tak bisa mengetahui secara pasti bahan-bahan yang digunakan untuk sebuah produk makanan. Konsumen hanya bisa pasrah jika mereka sudah telanjur mengonsumsi makanan yang mengandung zat berbahaya. "Lebih kacau lagi, saat ini Badan POM berada di luar Departemen Kesehatan," tukas Marius. Dengan kata lain, konsumen hanya bisa waspada terhadap produk yang hendak dikonsumsi.(TOZ/Tim Liputan 6 SCTV)