Ketika Golok Tak Terpisahkan dengan Pencak Silat

Bagi pendekar pencak silat, golok kerap diartikan sebagai lambang ksatria dan bukan hanya untuk melukai lawan. Golok bisa berperan menjadi dua sisi, yakni kebaikan atau keburukan tergantung si pemilik menggunakannya.

oleh Liputan6 diperbarui 07 Jan 2006, 15:59 WIB

Liputan6.com, Sukabumi: Pencak silat sejak lama dikenal sebagai seni beladiri yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia. Seni olah tubuh ini begitu membudaya hingga keberadaannya hampir dikenali setiap wilayah pelosok Tanah Air. Di masyarakat Sunda, misalnya. Kepopuleran pencak silat sungguh melegenda. Hampir setiap warga mengenalinya, tak terkecuali warga di Desa Nyalindung, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.

Sejarah ilmu silat ini memiliki akar kuat yang sangat panjang, meski belum diketahui secara pasti sejak kapan ilmu bela diri ini masuk ke Bumi Pasundan. Yang jelas keberadaannya sudah dikenali semenjak ratusan tahun yang lampau. Bahkan, di dalam Serat Centini disebutkan bahwa pada masa pra-Islam istilah padepokan sudah dikenal. Kini, pencak silat di Jabar juga sudah berkembang dengan masing-masing daerah memiliki ciri khas perguruan dengan jurus-jurus temuannya.

Seperti umumnya seni beladiri, silat pun berkembang mulai dari gerakan bela diri tangan kosong hingga pesilat diajarkan cara menggunakan senjata tajam. Uniknya, hampir semua perguruan pencak silat di Tanah Air ini mengkombinasikan gerakan silat dengan menggunakan senjata tajam khas daerah masing-masing, termasuk golok senjata tradisional keseharian masyarakat Sunda.

Golok yang biasa menjadi alat keseharian ke ladang kini menjadi sebuah alat beladiri yang disegani. Sang pendekar tak sekadar mengajarkan ilmu golok yang lebih penting dari itu ketajaman golok harus disertai dengan ketajaman hati yang bersih. Disaksikan pesilatnya, biasanya sang guru selalu mengajarkan filosofi sebuah golok.

Sogong adalah salah satu pendekar silat Sukabumi yang masih mengamalkan silat menggunakan golok. Namun, golok biasanya hanya digunakan jika kondisi benar-benar dalam keadaan terpojok. Golok terkadang juga digunakan oleh para pesilat untuk atraksi seni. Sebagai seorang guru silat, Sogong juga melatih dan membekali belasan muridnya dengan jurus-jurus tangan kosong, termasuk tenaga dalam ataupun kebatinan. Namun, mengingat jurus golok dengan tenaga dalam cukup berbahaya, Sogong tak ingin membiarkan muridnya berlama-lama dalam pengaruh ilmu gaib itu.

Untuk memperoleh golok atau bedog pusaka yang sejiwa dengan si empunya, berbagai macam ritual harus dilakukan seorang pendekar. Salah satunya dengan menyucikan diri. Setelah dalam kondisi suci diri, sang pendekar membawa goloknya ke ajengan atau pemuka agama agar goloknya didoakan sehingga membawa berkah dan kebaikan kepada pemiliknya. Biasanya, upacara ritual ini dilakukan pada saat bulan Maulud atau hari-hari tertentu yang dianggap keramat. Ada juga ritual-ritual yang bersifat lebih pribadi sesuai kepercayaan yang dianut sang pendekar.

Dalam pelaksanaan ritual, biasanya pendekar membawa sejumlah muridnya, rekan ataupun kerabat untuk ikut berdoa supaya mendapatkan rido dari sang pencipta. Para pengikut ini juga harus membawa dirinya dalam keadaan suci yaitu dengan berwudu. Setelah menyucikan diri, doa-doa pun dikumandangkan. Setelah golok didoakan oleh ajengan, sang pendekar disatukan jiwanya dengan golok. Ritual diakhiri dengan pesan ajengan kepada pendekar agar senjata goloknya dipergunakan untuk kebaikan.

Golok pusaka di tangan pendekar akan sangat berbahaya jika tidak diiringi kematangan mental pemiliknya. Pesan yang disampaikan ajengan menjadi bekal sang pendekar dalam memanfaatkan goloknya. Golok pusaka yang diperolehnya adalah amanah untuk digunakan di jalan yang benar.

Desa Cibatu, Cisaat, Sukabumi, selama ini dikenal salah satu penghasil berbagai macam senjata tajam yang salah satunya adalah golok. Meskipun dengan teknologi yang sederhana, mereka sudah menghasilkan ribuan senjata tajam yang didistribusikan di sejumlah daerah di Indonesia.

Umumnya budaya membuat senjata ini di sana sebagai tradisi turun temurun dari para leluhurnya. Namun, dalam perkembangannya desa ini kemudian dikenal sebagai desa pembuat golok. Golok buatan Desa Cibatu ini kini mulai banyak dijumpai di gerai-gerai toko di kawasan Jabar. Baik golok untuk kebutuhan senjata di ladang maupun golok yang dibuat khusus untuk pesilat.

Salah seorang penerus pembuat golok mumpuni di Desa Cibatu ini adalah Haji Aas As'ari. Lelaki separuh baya ini tumbuh dan besar di Desa Cibatu. Haji Aas mengenal pembuatan golok sejak usia belia. Ketika menginjak dewasa, ia mulai ditempa dengan olah batin yang diajarkan orang tuanya. Maklum, seorang empu golok pusaka harus memilki ilmu dan kesucian hati agar buatannya memiliki keampuhan supranatural bagi pemiliknya. Kesucian hati dan berdoa diperlukan agar pembuatan goloknya diridoi Yang Maha Pencipta.

Dalam proses pembentukan golok, Haji Aas selalu mengutamakan mutu. Tak heran, Haji Aas teliti dalam memperhatikan model, ukuran serta bentuk golok. Soal bahan mentah golok, Haji Aas selalu memilih besi mentah yang terbaik. Sementara gagang golok, Haji Aas memilih tanduk kerbau. Dalam proses pembuatannya, Haji Aas selalu mengerjakan sendiri. Ini dilakukan agar hasil yang didapat golok yang berkualitas terbaik. Yang pasti, golok akan menjadi dua sisi mata, yakni untuk kebaikan atau keburukan tergantung bagaimana si pemilik menggunakannya.(ORS/Joy Astro dan Teguh Prihantoro)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya