Tia: Ayah Tidak Sayang Lagi

Siti Ihtiatus Solihah, bocah yang menjadi korban penganiayaan ayahnya, mengaku sering mendapat pukulan. Kini, dia takut untuk bertemu dengan sang ayah yang sedang ditahan di Mapolres Jakut.

oleh Liputan6 diperbarui 10 Jan 2006, 20:00 WIB
Liputan6.com, Jakarta: Daftar tindak kekerasan orang tua terhadap anaknya semakin panjang. Pekan silam, Kepolisian Sektor Serpong, Tangerang, Banten, menetapkan Yeni sebagai tersangka. Pasalnya, dia tega membakar dua anaknya, Indah Novianti, 3 tahun, dan Lintar Saputra, 11 bulan, pada malam Tahun Baru silam [baca: Si Ibu, Tersangka Pembakar Balita di Tangerang].

Ironisnya, tindakan sang ibu dipicu oleh kekesalannya terhadap sang suami yang pulang dalam kondisi mabuk. Selain itu, beban ekonomi yang mengimpit keluarga ini, membuat Yeni makin gelap mata dan membakar anaknya. Padahal, selama ini dia dikenal sebagai istri yang baik dan saleh di mata para tetangga [baca: Ibu Pembakar Anak Itu Dikenal Saleh].

Setelah lebih dari sepekan kedua bocah malang itu dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat, Indah akhirnya meninggal dunia, Senin (9/1). Luka bakar sangat parah di sekujur tubuh tak sanggup lagi ditahan Indah yang kemarin dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Lengkong, Gudang Barat, Serpong [].

Sementara Yeni yang baru dikabari usai menunaikan salat Idul Adha di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang, Selasa pagi, langsung berteriak histeris. Namun, semuanya sudah terjadi, dan Yeni sudah harus siap-siap untuk mendekam di dalam penjara dalam waktu cukup lama. Dia dijerat polisi dengan Pasal 80 ayat 3 dan 4 Undang-Undang tentang Perlindungan Anak serta Pasal 44 UU tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang ancaman hukumannya mencapai 15 tahun penjara.

Belum lama berselang, kasus serupa kembali terjadi. Siti Ihtiatus Solihah, 8 tahun, mengalami penyiksaan oleh ayahnya, Juhandi. Bocah yang tinggal di Sunter Jaya, Jakarta Utara ini dipukuli dengan tangan dan tambang, hingga bibir serta badannya menderika luka memar. Tak sampai di situ, Juhandi juga menganiaya Tia dengan setrika panas di bagian tangan dan kaki [].

Dengan tangan dan kaki penuh perban, Tia yang harus digendong ibunya Kurniasih, bercerita kepada Bayu Sutiyono dari SCTV tadi petang. Menurut Kurniasih, awalnya dia menemukan selembar uang kertas pecahan Rp 100 ribu di bawah tumpukan baju Tia. Kepada ibunya, bocah ini mengatakan kalau uang itu bukan milik dia.

Masalah muncul ketika Juhandi mendengar percakapan ibu dan anak itu. Sang ayah kemudian ganti bertanya yang juga dijawab Tia kalau dia tidak tahu pemiliknya. Bahkan, ancaman bakal dipukul pun tak membuat Tia mengaku. Akhirnya, ancaman itu betul-betul dilaksanakan sang ayah. Tak mau masalahnya berlarut-larut, Kurniasih lantas keluar rumah untuk mencari kakak Tia yang mungkin mengetahui asal muasal uang tersebut.

Namun, kepergian istrinya membuat Juhandi makin leluasa menyiksa Tia. Puas memukul darah dagingnya itu, dia kemudian menempelkan setrika panas ke tangan dan kaki Tia. Kontan saja Kurniasih yang tiba di rumah langsung marah melihat perlakuan suaminya. Berdasarkan laporan istrinya, Juhandi kini ditahan di Markas Kepolisian Resor Jakarta Utara.

Disebutkan oleh Kurniasih, tindakan kasar suaminya itu bukan yang pertama kali terjadi. Juhandi di keluarganya dikenal memiliki temperamen yang cepat marah dan suka memukul. "Tapi tidak sampai berdarah atau luka seperti sekarang," jelas Kurniasih di studio Liputan 6 Petang.

Hal itu dibenarkan Tia. Bahkan, sebagaimana dituturkan bocah ini, dia tidak mau mengaku tentang asal uang itu lantaran gugup dan takut diancam ayahnya. Apalagi, dia sudah trauma dengan perlakuan ayahnya selama ini. "Ayah sering memukul Tia," akunya dengan polos.

Kendati demikian, tersirat kesan bahwa masalah kekerasan dalam rumah tangga tidak berdiri sendiri. Tidak jauh beda dengan kasus keluarga Yeni di Tangerang, kehidupan Juhandi dan keluarganya juga serba kekurangan dari sisi ekonomi.

Bayangkan saja, mereka hanya sanggup menyewa sebuah kamar kontrakan berukuran dua kali dua meter. Selain itu, Juhandi pun dikenal sebagai pekerja serabutan dengan menjadi sopir. "Tapi dia lebih banyak di rumah daripada bekerja," ujar Kurniasih yang sehari-hari membantu mencuci pakaian tetangga untuk menutupi kebutuhan ekonomi keluarga.

Dalam kondisi hidup serba susah itu, emosi agaknya gampang meletup. Sayangnya, yang menjadi korban adalah anak-anak yang sebenarnya tidak tahu apa-apa. Akibatnya, trauma psikis banyak dialami anak-anak yang menjadi korban kekerasan orang tua. Lihat saja Tia, yang mengaku takut untuk bertemu lagi dengan ayahnya. "Ayah tidak sayang lagi sama Tia," ujarnya memberi alasan.

Hampir senada dengan anaknya, Kurniasih pun hingga kini belum tahu bagaimana dia harus bersikap terhadap suaminya. "Saya tidak tahu apakah akan menerima dia kembali atau tidak," katanya. Yang jelas, dia berharap suaminya bisa berubah setelah peristiwa ini.(ADO)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya