Revisi UU Ketenagakerjaan Harus Mewakili Semua Pihak

Mantan Menakertrans Bomer Pasaribu mengkhawatirkan, revisi UU Ketenagakerjaan berubah menjadi bola liar. Menurut Bomer, dari tahun ke tahun, lapangan kerja yang tercipta malah semakin sedikit menyerap tenaga kerja.

oleh Liputan6 diperbarui 10 Apr 2006, 09:02 WIB
Liputan6.com, Jakarta: Usulan revisi Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disorot sejumlah kalangan. Mantan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Bomer Pasaribu mengatakan, kondisi ini bisa menjadi bola liar. Tak tertutup kemungkinan pula mengarah pada radikalisme buruh. Kemungkinan itu terjadi bila pemerintah tak segera membereskan masalah tenaga kerja dan pengangguran di Tanah Air.

"Mengatasi pengangguran tidak selalu dengan memilih menciptakan lapangan kerja," ujar Bomer di Jakarta, belum lama berselang. Menurut dia, dari tahun ke tahun, lapangan kerja yang tercipta malah semakin sedikit menyerap tenaga kerja.

Jumlah tenaga kerja yang berlimpah di Indonesia dianggap menjadi salah satu penyebab lemahnya daya tawar para buruh dan calon pekerja sebuah perusahaan. Perusahaan yang padat karya misalnya, dinilai sangat gampang mendapatkan berapa pun jumlah buruh yang dibutuhkan dengan upah minimum.

Senada dengan Bomer. Menurut pengamat ketenagakerjaan Soegeng Sarjadi, visi pemerintah seharusnya menyeimbangkan antara kepentingan pengusaha dan buruh agar tak menimbulkan kecemburuan sosial. Ia mengusulkan, pemerintah hendaknya membuat sistem kesejahteraan karyawan yang lebih baik seperti fasilitas kesehatan gratis. "Demo-demo akan tetap terjadi kalau tidak ada kejelasan buruh akan diapakan," jelas Soegeng.

Mengatasi segala persoalan itu, Sabtu silam, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginstruksikan lima perguruan tinggi negeri memberikan kajian terhadap UU Ketenagakerjaan. Ke depan, konsepnya tetap. Dengan kata lain, penggodokan draf revisi UU Ketenagakerjaan akan selalu melibatkan forum tripartit yang terdiri dari buruh, pengusaha, dan pemerintah [baca: Pemerintah Batal Merevisi UU Ketenagakerjaan].

Langkah itu dinilai pengamat ekonomi Faisal Basri tidak relevan. Sebab, seharusnya riset sudah selesai dilaksanakan sejak dahulu sebelum dikeluarkannya draf revisi UU Ketenagakerjaan yang sempat menuai kontroversi berkepanjangan. Ia mengatakan, hal terpenting yang harus ditempuh pemerintah saat ini adalah menggali aspirasi dari para pekerja dan pengusaha di seluruh daerah. Langkah itu untuk menghindari gejolak di kemudian hari.

Karena itu, tak mengherankan bila rencana pemerintah merevisi UU Ketenagakerjaan menimbulkan penolakan besar-besaran dari para pekerja dan buruh. Pemandangan itu marak terjadi di sejumlah daerah dengan unjuk rasa besar-besaran. Butiran pasal dalam draf revisi UU Ketenagakerjaan dinilai merugikan para pekerja dan hanya menguntungkan pengusaha.

Beberapa pasal yang ditentang para pekerja, antara lain mengenai usulan perubahan pesangon yang ditetapkan besaran minimalnya. Ini juga termasuk pengaturan masalah outsourcing di perusahaan [baca: Revisi UU Tenaga Kerja, Siapa Diuntungkan?].

Tarik-menarik kepentingan antara pengusaha dan buruh membuat kedua pihak berupaya melobi pemerintah. Presiden Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla bergantian menerima perwakilan buruh dan pengusaha yang ingin menyampaikan aspirasi mereka.

Persoalan itu memang ditanggapi secara positif oleh pemerintah. Hal itu tercermin pada pertemuan Kalla bersama sejumlah perwakilan buruh, pekan silam, di Jakarta. Dalam kesempatan itu, mereka meminta pemerintah mengkaji ulang rencana revisi UU Ketenagakerjaan.

 

Demikian pula dengan Presiden Yudhoyono yang pekan silam menerima perwakilan para buruh dan pengusaha untuk membahas pro-kontra seputar rencana amendemen UU Ketenagakerjaan. Dalam pertemuan tertutup tersebut, hadir beberapa serikat pekerja dan serikat buruh. Sedangkan dari pihak pengusaha, hadir Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) M.S. Hidayat dan perwakilan dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Dalam kesempatan itu, Presiden Yudhoyono menyatakan akan memperhatikan tiga hal pokok. Antara lain perlindungan bagi hak-hak tenaga kerja, pertumbuhan perusahaan di Indonesia dan kemajuan dunia usaha dan ekonomi nasional.(AIS/Rieke Amru dan Rudi Utomo)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya