Liputan6.com, Jakarta: Sastrawan Pramoedya Ananta Toer atau Pram meninggal dunia, Ahad (30/4) pagi sekitar pukul 08.55 WIB di rumahnya di kawasan Utan Kayu, Jakarta Timur. Sastrawan yang dua kali dinominasikan menerima Nobel ini meninggal karena komplikasi diabetes dan jantung.
Kamis silam, Pram dilarikan ke Rumah Sakit St. Carolus Jakarta. Sempat dirawat di ruang perawatan intensif (ICU) semalam. Pram sadarkan diri dan meminta pulang. Keluarga kemudian membawanya ke rumah Pram lainnya di Utan Kayu. Sabtu malam sastrawan yang dinobatkan majalah TIME sebagai orang yang berpengaruh ini dirawat di rumah hingga meninggal pagi tadi.
Advertisement
Kondisi Pram memburuk sejak awal tahun. Namun ia masih sempat merayakan ulang tahunnya yang ke-81 dengan menghadiri pameran kover bukunya yang dilarang terbit di Indonesia. Pria kelahiran Blora, Jawa Tengah, 2 Februari 1925 ini menekuni dunia sastra sejak di bangku sekolah dasar. Idealisme dan keberanian Pram mengkritik kebijakan pemerintah melalui karyanya membuat Pram menghabiskan hampir separuh hidupnya di balik tahanan dan penjara.
Di era Sukarno, misalnya, ia masuk bui karena bukunya Hoakiau di Indonesia yang mengkritik kebijakan bagi etnis Tionghoa. Pada 1965, Pram diasingkan di Pulau Buru karena kiprahnya sebagai redaktur harian terbitan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) bentukan Partai Komunis Indonesia. Pada era Orde Baru, Pram kembali dijebloskan ke penjara selama 15 tahun karena tuduhan subversif.
Hidup di balik jeruji tak membuat Pram kehilangan semangat. Ia terus menelurkan berbagai karya sastra. Di antaranya tetralogi Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca.
Sosok Pram juga penuh dengan kontroversi. Ketika mendapatkan Ramon Magsasay Award pada 1995, sebanyak 26 tokoh sastra Indonesia di antaranya Mochtar Lubis, Taufik Ismail dan H.B. Yassin menulis surat '"protes'" ke yayasan Ramon Magsasay. Mereka menuduh Pram sebagai "pembunuh" sastrawan yang berada di luar Lekra. Seorang sastrawan netral seperti Iwan Simatupang dalam surat-suratnya termasuk yang mengeluhkan sepang terjang orang-orang Lekra yang dipimpin Pram.
Di usia tuanya Pram terus berkiprah. Karya terakhirnya Jalan Raya Pos, Jalan Daendles diterbitkan Oktober 2005. Dalam kondisi sakit Pram juga terus mengerjakan sebuah ensiklopedia yang menjadi ambisinya.
Pram dikuburkan di Tempat Pemakaman Umum Karet Bivak, Pejompongan, Jakarta Pusat. Selain tahlil dan tahmid lamat-lamat terdengar juga bait-bait syair Internationale--lagu Komunis Internasional yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia--mengiringi jenazah Pram..(YYT/Tim Liputan 6 SCTV)