Soeharto Sakit, Terbitlah SKP3

Terbitnya SKP3 Jaksa Agung menyengat berbagai kalangan yang menolak penghentian kasus mantan Presiden Soeharto. Jaksa Agung membantah ketetapan itu sebagai pengampunan dari pemerintah.

oleh Liputan6 diperbarui 18 Mei 2006, 05:50 WIB
Liputan6.com, Jakarta: Penerbitan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) terhadap kasus mantan Presiden Soeharto terus mengundang perdebatan. Sebagian kalangan berpendapat bahwa langkah Jaksa Agung tersebut sudah sesuai dengan kondisi yang ada. Sementara kalangan lain menilai SKP3 telah mencederai rasa keadilan publik. Bahkan, sejumlah aktivis hak asasi manusia mendeklarasikan Gerakan Masyarakat Adili Soeharto [].

Tidak hanya Kejaksaan Agung, pemerintah pun tak luput dari hujan kritik. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dianggap tidak tegas menyelesaikan kasus hukum yang terkatung-katung selama enam tahun terakhir. Pasalnya, Yudhoyono memutuskan untuk mengambil jalah tengah dengan mengendapkan masalah ini sampai situasi betul-betul tepat [].

Polemik ini pula yang kemudian menjadi perdebatan hangat dalam acara Topik Minggu Ini yang ditayangkan SCTV, Rabu (17/5) malam. Dalam acara yang dipandu Bayu Sutiyono, hadir antara lain mantan Ketua MPR Amien Rais, anggota Komisi I DPR Ali Mochtar Ngabalin, Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia Hendardi serta kuasa hukum Soeharto, Mohammad Assegaf.

Menurut Amien, peradilan terhadap Soeharto adalah masalah yang mendesak untuk dituntaskan. Terlepas dari dikeluarkannya SKP3 oleh Jaksa Agung, rasa keadilan publik tetap harus dipenuhi. Untuk itu, mantan Ketua Umum Partai Amanat Nasional ini mengusulkan beberapa langkah yang dinilainya dapat memuaskan berbagai pihak.

Yang pertama adalah pendekatan hukum, dengan membuat payung hukum agar peradilan Soeharto bisa digelar secara in absentia. Jika kemudian dinyatakan benar telah terjadi tindak pidana, maka kekayaan terdakwa dikembalikan kepada negara. Sedangkan terhadap terdakwa, Amien mengusulkan untuk diampuni. "Karena Pak Harto juga memikul kesalahan kolektif, seperti kesalahan anggota MPR yang hanya bisa iya-iya terus," tegasnya.

Usulan serupa disuarakan Ali Mochtar. Menurut dia, kepastian hukum atas kasus Soeharto sangat penting bagi generasi mendatang. Kendati demikian, dia berpendapat tidak tertutup kemungkinan jika Kejagung memang harus mengambil langkah mengeluarkan SKP3. "Jika itu berdasarkan data dan fakta yang valid, kenapa tidak," ujarnya.

Hanya saja, kemungkinan untuk meneruskan proses hukum terhadap Soeharto menurut pandangan Assegaf sudah tertutup. Diuraikan Assegaf, kasus ini berawal dari dikeluarkannya Ketetapan MPR Nomor XI Tahun 1998 yang mengamanatkan penyelenggaraan negara yang bersih serta bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme. Ketetapan tersebut kemudian dikuatkan Tap MPR Nomor I Tahun 2003 tentang pemberantasan korupsi, termasuk menyeret bekas pejabat, mantan Presiden Soeharto, keluarga dan para kroninya.

Semua perintah itu telah dilaksanakan, bahkan telah melalui seluruh tingkatan peradilan yang ada. Masalahnya, Soeharto tak kunjung bisa hadir di persidangan lantaran sakit. Hingga kemudian Mahkamah Agung mengeluarkan perintah kepada kejaksaan agar melakukan perawatan terhadap Soeharto hingga sembuh agar bisa dihadapkan ke pengadilan.

Kenyataannya, dari beberapa tim dokter yang pernah dibentuk, semuanya menyuarakan pendapat yang sama, Soeharto mengalami kerusakan jaringan otak yang permanen alias tak mungkin sembuh. Hukum pidana yang berlaku universal menyatakan, bahwa seorang terdakwa yang dalam keadaan sakit tak bisa dihadapkan ke persidangan. "Karena itu, dengan dikeluarkannya SKP3 ini saya menganggap peradilan kasus Soeharto sudah selesai," jelas Assegaf.

Namun, penilaian itu langsung disanggah Hendardi. Keluarnya SKP3 dipandang Hendardi sebagai politik pengampunan yang diterapkan pemerintah terhadap Soeharto. Baginya ini bukan sesuatu yang aneh, sebab pemerintah sudah terbiasa menyelesaikan persoalan-persoalan hukum lewat cara nonhukum, yaitu politik. "Ini kan hanya akal-akalan pemerintah untuk mengalihkan persoalan hukum yang ada," tegasnya. Apalagi, masih banyak yang bisa dilakukan selain menghentikan peradilan kasus ini.

Ditambahkan Hendardi, kasus Soeharto sudah memasuki babak persidangan, sehingga menjadi yurisdiksi pengadilan untuk memutuskan, bukan kejaksaan. "Seharusnya kita mencari kreasi-kreasi hukum untuk menyelesaikan, misalnya dengan menggelar persidangan in absentia," tegasnya. Hendardi lantas mencontohkan kasus korupsi Hendra Rahardja yang divonis tanpa kehadiran terdakwa [].

Gagasan itu disanggah Assegaf. Peradilan in absentia menurutnya tidak relevan dengan kasus yang tengah dihadapi Soeharto karena hanya bisa dilakukan bagi terdakwa yang tidak diketahui keberadaannya atau melarikan diri. Sementara untuk kasus Soeharto, terdakwanya ada dan jelas keberadaannya. "Saudara Hendardi sepertinya menafsirkan pengertian in absentia meluas kepada orang sakit yang tak bisa diadili," ujar Assegaf.

Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh yang kemudian ikut bergabung dalam dialog membenarkan keterangan itu. Menurut Abdul Rahman Saleh, kasus Hendra Rahardja tak bisa disamakan dengan Soeharto. Hendra dalam posisi melarikan diri, sementara keberadaan Soeharto jelas. "Jadi, kita harus berpatokan pada aturan hukum yang ada, tidak bisa dengan menerabas begitu saja," ujar Jaksa Agung yang akrab disapa Arman ini.

Jaksa Agung mengatakan, anggapan kalau SKP3 dikeluarkan berarti kesalahan Soeharto dimaafkan tidak benar sama sekali. Dia memaparkan, ketika pertama kali menjejakkan kaki di Kejagung, kasus ini dimasukkan dalam skala prioritas. Alasannya jelas, setelah tiga presiden dan beberapa Jaksa Agung berganti, kasus ini tak kunjung selesai. "Padahal, kita tidak boleh menggantung nasib orang," ucapnya.

Setelah semua berkas diteliti, ternyata ada Keputusan MA tahun 2001 serta surat-surat lainnya dari lembaga yang sama. Kesimpulannya, karena tidak dapat disembuhkan, terdakwa tidak dapat dihadapkan ke pengadilan. "Kita tidak tinggal diam, upaya pengobatan terus dilakukan sampai enam bulan berturut-turut. Hasilnya sama, tak bisa disembuhkan," jelas Arman.

Intinya, Kejagung sama sekali tidak bermaksud memberi maaf kepada Soeharto, sebab kasus ini bisa kembali dibuka jika situasinya sudah memungkinkan. Selain itu, Arman juga membantah kalau keluarnya SKP3 adalah atas instruksi dari Presiden Yudhoyono. "Itu kewenangan saya," tegasnya.

Tapi, kentalnya pengaruh luar terhadap sikap independen Kejagung dibenarkan Amien. Dia mengaku pernah berbicara dengan almarhum Baharuddin Lopa sebelum menjadi Jaksa Agung. Ketika itu Lopa berjanji akan mengangkat kasus Soeharto. Pasalnya, data yang sudah menumpuk di Kejagung sama sekali tak disentuh Jaksa Agung waktu itu, Andi Muhammad Ghalib. Namun, ketika Lopa menjadi Jaksa Agung, dia juga menemui kesulitan. "Mungkin benar ada tekanan yang lebih kuat, sehingga seorang Lopa tiba-tiba menjadi tumpul," ujar Amien.

Karena itu Amien berharap agar kejaksaan tetap membuka kemungkinan untuk meneruskan kasus ini. Sebab, kata Amien, kalau orang yang sudah meninggal saja bisa diusut kasusnya kenapa yang masih hidup tidak bisa.

Arman membenarkan ucapan Amien. Hanya, tuntutan hukum bagi yang sudah meninggal cuma untuk kasus perdata, sedangkan untuk pidananya tidak bisa lagi. Karena itu, saat ini kejaksaan lebih memfokuskan perhatian untuk mengejar harta para terdakwa, bukan orangnya.

Di akhir pembicaraan Arman kembali menegaskan bahwa pihaknya tidak pernah memberi pengampunan atau maaf dalam kasus Soeharto. Saat ini pihaknya tengah membentuk tim yang dipimpin Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara, yang tugasnya mengejar harta terdakwa serta kroni-kroninya secara perdata.

Namun, Hendardi mengusulkan agar Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih kasusnya, agar dapat dicarikan jalan keluar untuk tetap memproses secara hukum.

Sedangkan Amien berharap kebuntuan dalam proses hukum Soeharto bisa ditembus. Misalnya dengan membuat peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu), sehingga peradilan in absentia bisa mencakup terdakwa yang lebih luas. Artinya, tak mudah untuk menganggap kasus Soeharto selesai hanya lantaran keluarnya sepucuk surat dari gedung di Jalan Sultan Hasanuddin No.1, Jakarta Selatan.(ADO)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya