Salah seorang di antara pengungsi adalah Tono. "Saya sudah mengungsi tiga hari," aku pria berkumis ini. Tono bersama para pengungsi lain kini tinggal di tenda pengungsian di daerah perbukitan setempat. Satu tenda dihuni 65 orang dari berbagai lapisan usia, mulai anak-anak hingga orang tua. Tono bersyukur karena masih mendapat bantuan makanan. Kendati "[Cuma] mi saja," cetus pria yang berprofesi sebagai nelayan.
Tono juga mengeluhkan hawa dingin di lokasi tersebut. Apalagi para pengungsi hingga saat ini amat kekurangan selimut. Karena itu, Tono berharap ada bantuan selimut buat mereka. Ia juga berharap tikar yang dipergunakan sebagai alas kaki diganti dengan papan. Soalnya bila turun hujan tenda akan becek.
Advertisement
Tono lalu bercerita, saat tsunami terjadi, dirinya sempat berpisah dengan keluarganya. Ia juga mengaku telah melihat rumahnya yang masih berdiri utuh. Hanya warungnya yang hancur tak tersisa. Kini, Tono masih menyimpan trauma akibat bencana itu. Ia berharap pemerintah segera secepatnya memulihkan kondisi Pangandaran. Apalagi sekarang ia praktis tidak lagi bisa bekerja.
Siang tadi, para pengungsi setempat juga telah menerima bantuan berupa beras lima kilogram dan tiga dus mi instan per kepala keluarga. Untuk mendapat bahan makanan, mereka harus memperlihatkan secarik kertas yang menunjukkan mereka adalah pengungsi setempat.
Namun para pengungsi malah kebingungan setelah mendapat bantuan mengingat tak memiliki alat untuk memasak. Dinginnya udara membuat para pengungsi mulai terjangkit penyakit flu. Apalagi banyak anak kecil di tempat tersebut yang amat rentan terhadap udara dingin.(MAK/Tim Liputan 6 SCTV)