Kabut Asap di Pontianak Makin Pekat

Jarak pandang di Kota Pontianak kini tak lebih dari 100 meter sehingga sangat mengganggu lalu lintas di dalam kota. Satelit NOAA mendeteksi ada 544 titik api di Kalbar.

oleh Liputan6 diperbarui 29 Agu 2006, 13:34 WIB
Liputan6.com, Pontianak: Kabut asap yang menyelimuti Pontianak, Kalimantan Barat makin pekat dan telah dinyatakan berbahaya bagi kesehatan. Jarak pandang di Kota Khatulistiwa pun kini tak lebih dari 100 meter sehingga sangat mengganggu lalu lintas di dalam kota. Demikian hasil pantauan SCTV di Pontianak, Selasa (29/8) siang.

Kondisi ini paling buruk dalam sepekan terakhir akibat maraknya pembakaran lahan gambut di sekitar Kota Pontianak, seperti di kawasan Rasau Jaya, Sungai Ambawang, Sungai Raya Dalam, dan Kecamatan Sungai Kakap. Kondisi makin buruk dengan peningkatan aktivitas pembakaran hutan dan lahan di sejumlah kabupaten di Kalbar.

Satelit National Oceanographic and Atmospheric Administration (NOAA) dalam 12 hari mendeteksi ada 544 titik api di sejumlah kabupaten di Kalbar. Sebanyak 190 titik ada di Kabupaten Ketapang. Sementara petugas Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Kalbar mencatat tingkat pencemaran udara di Pontianak sudah mencapai angka 448,5 mikrogram per meter kubik.

Sementara dari Palangkaraya, Kalimantan Tengah dilaporkan, siang ini, kabut asap menipis setelah hujan mengguyur wilayah itu. Aktivitas pelayaran kapal motor di Sungai Kahayan kini sudah kembali normal.

Lembaga swadaya masyarakat Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) melaporkan sekitar 300 perusahaan pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) diduga terlibat kasus pembakaran hutan. Mereka kebanyakan beroperasi di Riau dan Kalimantan. Tiga di antaranya adalah PT Nanjak Makmur, PT Hutani Sola Lestari atau yang dahulu bernama PT Sola Gratia, dan PT Siak Ray.

Selain pemegang HPH, sejumlah perusahaan pemegang hak pengelolaan perkebunan dan industri juga punya andil cukup besar memberangus hutan di Riau dan Kalimantan. Badan Konservasi Sumber Daya Alam Riau sudah mengusulkan agar pemerintah mencabut izin tiga pemegang HPH itu [baca: Ribuan Hektare Hutan Kalbar Musnah].

Selain perusahaan besar, masyarakat tradisional setempat juga sering dituding menjadi aktor pembakaran hutan di Kalimantan. Tapi, sepanjang pengamatan reporter SCTV Amien Alkadrie, tudingan itu tak terbukti. Mereka jauh lebih tertib dan paham sehingga hasil pembakaran tidak sampai merambah ke areal lain.

Contohnya yang dilakukan masyarakat suku Dayak Pandu Rimbun di Kecamatan Parindu, Kabupaten Sanggau. Sebelum memulai pembakaran biasanya mereka terlebih dahulu membaca mantra tradisional yang disampaikan kepala suku atau dukun alias pomang. Tujuannya agar Sang Pencipta memberikan berkah dan perlindungan.

Setelah itu areal yang akan dibakar diberi sekat agar api tidak merambah ke lahan lain. Sedangkan untuk membatasi jilatan api mereka membawa penyemprot air yang mereka sebut solo. Alat ini difungsikan bila api mengarah ke lahan lain.

Lahan yang dibakar nantinya akan ditanami singkong dan padi. Mereka meyakini, ladang yang dibakar lebih dulu memberikan hasil panen lebih baik. Usai membakar lahan, biasanya masyarakat pedalaman Kalbar ini akan menikmati hidangan babi bakar dan minuman tradisional tuak.(ICH)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya