Demonstrasi Penambang Timah di Bangka Ricuh

Lebih dari 10 orang tertembak saat berunjuk rasa di Mapolda Bangka Belitung. Polisi menyisir lokasi kejadian untuk menangkap pengunjuk rasa yang bertindak anarkis.

oleh Liputan6 diperbarui 05 Okt 2006, 14:02 WIB
Liputan6.com, Bangka: Unjuk rasa penambang timah di Markas Kepolisian Daerah Bangka Belitung, Kamis (5/10), berujung ricuh. Lebih dari 10 orang terkena tembakan polisi yang berusaha menghalau massa menjauhi Mapolda Bangka Belitung. Sejumlah polisi juga luka-luka terkena lemparan batu.

Pengunjuk rasa sempat membakar semak belukar di sekitar Kantor Gubernur Bangka Belitung sebelum akhirnya kabur ke hutan di sekitar lokasi. Namun mereka mengaku akan kembali lagi besok untuk berunjuk rasa dengan jumlah massa lebih banyak. Hingga berita ini disusun, polisi masih menyisir sejumlah lokasi untuk menangkap pengunjuk rasa yang bertindak anarkis.

Aksi ini adalah yang kedua kalinya setelah sebelumnya aksi serupa juga dilakukan menyusul penyegelan tiga smelter atau pabrik peleburan timah--CV Dona Kembara Jaya, CV DS Jaya Abadi dan Bangka Putra Karya--di kawasan Ketapang, Pangkalpinang. Mereka menuntut polisi segera membebaskan tiga pemilik smelter tersebut yang telah ditahan di Mapolda Bangka Belitung .

Penyegelan dan penahan oleh polisi itu sebagai tindak lanjut penyitaan 93 kontainer berisi balok timah sekitar Rp 180 miliar yang diduga akan dikirim ke Singapura. Dua dari 93 kontainer timah adalah milik PT Ds yang berdokumen lengkap dan bercap perusahaan. Sedang 91 kontainer lainnya berisi balok timah yang tak memiliki cap dan dokumennya mencurigakan.

Menurut Wakil Divisi Humas Mabes Polri Brigadir Jenderal Polisi Anton Bahrul Alam, smelter-smelter itu melanggar beberapa hal. Di antaranya tak membayar royalti eksplorasi kepada negara dan royalti dana reklamasi di bekas wilayah penambangan.

Sebaliknya pihak industri melalui Asosiasi Industri Timah Indonesia menuding dasar penyegelan tak jelas. Pasalnya mereka merasa memiliki izin resmi dari pemerintah daerah. Karena itu, mereka selama ini hanya membayar iuran wajib kepada pemerintah daerah sebesar Rp 650 per kilogram.(TOZ/Tim Liputan 6 SCTV)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya