Kapal Penumpang Senopati Nusantara II milik perusahaan pelayaran PT Prima Vista adalah satu dari kecelakaan kapal yang paling tragis. Di Laut Jawa, KM Senopati Nusantara digulung ombak. Karam. Pada 30 Desember itu, Senopati memuntahkan seluruh penumpang dan muatannya pada 24 mil arah tenggara Pulau Mandalika, sebelah utara Jepara, Jawa Tengah. Padahal, Senopati sempat buang sauh dan berlindung dari amuk cuaca.
Upaya evakuasi langsung dikerahkan. Fokus pertama: pertolongan udara. Badan SAR Nasional, TNI, dan Polri mengerahkan enam pesawat dan helikopter untuk menyelamatkan korban selamat yang terapung di laut lepas. Ban-ban penyelamat dan makanan instan dilemparkan sebagai pertolongan pertama. Lokasi korban segera disampaikan ke kapal yang siap menjemput.
Advertisement
Keluarga korban juga dilibatkan. Mereka terbang menumpang pesawat Cassa TNI Angkatan Laut. Pencarian berlangsung di atas perairan Semarang hingga sekitar perairan Mandalika, Jepara, tempat KM Senopati Nusantara tenggelam. Memasuki pekan kedua, pencarian dari udara diperluas hingga juga ke Selat Madura, Bali, dan Lombok. Pesawat Nomad dan dua helikopter dikerahkan. Tapi hingga akhir pekan ini, hasil maksimal belum didapat.
Dari laut, upaya pencarian korban mengerahkan lebih dari 13 kapal. Pada 9 Januari, KRI Katon berhasil mengevakuasi enam jenasah penumpang Senopati di Pulau Kangean, Arjasa, Sumenep, Madura. Di hari yang sama, KRI Hiu merapat di Pelabuhan Tanjungperak, Surabaya membawa 12 jenazah yang ditemukan di perairan Kangean.
Titik terang lokasi bangkai KM Senopati mulai tampak. KRI Untung Suropati mendeteksi adanya logam di sebelah utara perairan Lasem, Jateng, Jumat, 12 Januari. Logam tersebut diperkirakan berada pada kedalaman sekitar 40 meter di bawah permukaan laut.
Dan hingga akhir pekan kedua pencarian, jumlah korban selamat mencapai 260 penumpang. Sebanyak 27 ditemukan tewas, 20 di antaranya masih berada di Rumah Sakit dokter Soetomo, Surabaya. Jumlah yang masih sedikit jika melihat manifes total seluruh pelayar yang mencapai 628 orang yakni 542 penumpang, 57 awak, dan 29 kru kapal. Masih ada ratusan orang yang belum ditemukan.
Parahnya lagi, sejumlah penumpang selamat menuturkan ada ratusan penumpang lain yang membeli tiket di atas kapal alias penumpang gelap. Senopati membawa penumpang melebihi kapasitas, yakni hingga 850 orang [baca: Ratusan Penumpang KM Senopati Membeli Tiket di Kapal]. Kapal tersebut ternyata dihantam ombak hingga setinggi lima meter. Air masuk ke dek kapal merobohkan sejumlah truk di dalamnya sehingga membuat kapal oleng. Penelusuran tim Sigi menyebutkan KM Senopati telah dimodifikasi dan bermasalah dengan konstruksinya. Benarkah kapal tersebut tak layak untuk penyeberangan jarak jauh Kalimantan-Jawa?
Sebuah dokumen klasifikasi kapal yang diperoleh tim Sigi menyebut KM Senopati Nusantara masuk ke Indonesia pada 1996. Kapal buatan perusahaan Sasaki Shipyard Jepang 1990 ini awalnya berupa kapal roro (roll on-roll off). Aslinya, kapal tersebut memiliki dua pintu (ramp door) di bagian depan dan belakang. Konstruksi lambung kapal ini pun hanya layal digunakan untuk penyeberangan jarak pendek bukan pelayaran jauh hingga waktu tempuh lebih dari 20 jam.
PT Prima Vista selaku pemilik kapal memiliki ide "brilian". Tahun 2001, kapal tersebut dimodifikasi ulang di galangan kapal Jasa Marina Indah. Pintu kapal depan dan belakang ditutup, dan dipindahkan ke samping kanan dan kiri, seperti kapal penyeberangan jarak jauh pada umumnya. Bagian anjungan dibuat mengerucut.
Sumber terpercaya tim Sigi di Departemen Perhubungan menyebut modifikasi itu menyimpan sejumlah masalah. KM NUsantara tak dilengkapi dengan uji pralayar atau sea trial dan dry docking. Sumber itu juga menyebut pintu kapal tak kedap sehingga air masuk saat dihantam ombak besar. Keterangan ini diamini ahli transportasi laut dari Institut Teknologi Sepuluh November Daniel Mohamad Rosyid.
Selain konstruksi yang diduga tak tahan cuaca buruk, sejumlah fakta dan kesaksian menyebut adanya kecerobohan awak kapal. Seorang penumpang selamat sempat memotret sejumlah truk yang terguling beberapa jam sebelum kapal tenggelam. Truk itu tak diikat sebagaimana mestinya. Alhasil, truk terguling saat kapal dihantam ombak. Kapal pun kehilangan titik keseimbangan.
Mengikat muatan, apalagi truk besar dan alat berat adalah wajib dalam standar Organisasi Maritim Internasional (IMO) maupun peraturan pelayaranan nasional. Namun, kebanyakan feri nyaris mustahil memenuhi kewajiban itu. Alasannya, waktu bongkar muat dibatasi hanya 18 menit. Truk-truk cuma diganjal kayu atau batu seadanya.
Ironisnya, dokumen yang diperoleh Sigi justru menyebut modifikasi KM Senopati sudah disertifikasi Biro Klasifikasi Indonesia. Sebuah lembaga yang diberi tugas menguji layak tidaknya kapal berlayar. Sumber tim Sigi juga menyebut manajemen Prima Vista kurang baik. Seorang mantan pegawai perusahaan pelayaran itu menahan ijasah asli para karyawannya. Kecelakaan KM Senopati Nusantara juga bukan kecelakaan pertama yang dialami Prima Vista.
Sayang, PT Prima Vista tak bersedia dikonfirmasi. Tim Sigi yang mendatangi tiga kantor Prima Vista di Jakarta, Semarang, dan Surabaya hanya ditemui staf yang tak tahu apa-apa. Dalam jawaban tertulis, Direktur Utama Prima Vista Hartomo Ranodiharjo menyatakan tengah berkonsentrasi pada penanganan korban, melayani investigator Komite Nasional Keselamatan Transportasi, dan Komisi V DPR.
Pernyataan itu justru berbeda dengan kenyataan di lapangan. PT Prima Vista yang memiliki tujuh kapal penyeberangan di berbagai pelabuhan besar Indonesia tak memperlihatkan tanggung jawab yang total kepada korban dan keluarga korban. Boro-boro asuransi atau santunan, sikap terbuka perusahaan soal penyebab kapal karam sangat susah didapat. Citra buruk yang tak sepantasnya diperlihatkan anak perusahaan pelayaran tua yang nyaris mempunyai rute di hampir semua pelabuhan besar di Indonesia bernama Jembatan Madura Grup milik keluarga David dan Daniel Aji. Grup dengan 30 armada yang terakreditasi Biro Klasifikasi Indonesia.
Barulah setelah diprotes sana-sini, Prima Vista mau bertemu keluarga korban KM Senopati di Pos Armada Timur, Surabaya. Menurut Jhoni Burhan dari Divisi Pemasaran PT Prima Vista, perusahaan akan mengurus asuransi Jasa Raharja setiap penumpang meninggal atau hilang baik bertiket maupun tidak sebesar Rp 10 juta. Prima Vista sendiri hanya memberi santunan sebesar Rp 5 juta. Penumpang yang selamat tak akan mendapat santunan apa-apa [baca: Pengelola Senopati Nusantara Tak Menanggung Korban Selamat].
Cuaca memang bisa kurang bersahabat, tapi itu tak boleh menjadi alasan. Keteledoran, kecerobohan operator, dan awak kapal atau tak adanya kontrol yang ketat dari pemerintah selaku regulator tentu sangat berperan dalam musibah besar tenggelamnya sebuah kapal termasuk KM Senopati Nusantara. Cuaca buruk bisa datang kapan saja. Jadi menyalahkan cuaca sebagai penyebab sebaiknya dilakukan setelah investigasi menyeluruh selesai dilakukan. Tugas berat yang menjadi pekerjaan rumah KNKT. Rakyat berhak menuntut pemerintah dan seluruh operator pelayaran memperbaiki kinerja bukan sekadar janji manis di bibir.(TOZ/Tim Sigi SCTV)