Sepuluh Bulan Terkubur Lumpur

Luberan lumpur panas Lapindo telah menenggelamkan sejumlah desa, mengubur 10 ribu lebih rumah, serta 600 hektare sawah tak bisa dipanen. Diperkirakan kerugian yang ditimbulkan mencapai 7,6 triliun rupiah.

oleh Liputan6 diperbarui 25 Mar 2007, 14:02 WIB
Liputan6.com, Sidoarjo: Tenteram dan damai. Begitulah suasana desa Reno Kenongo, Kedung Bendo, Siring, dan Jatirejo, Sidoarjo, Jawa Timur, empat bulan sebelum terkubur lumpur panas Lapindo. Warna hijau masih mendominasi wilayah di delta Sidoarjo ini.

Para petani menancapkan bibit padi untuk dipanen pada beberapa purnama berikutnya. Sedangkan peternak itik pergi pulang menggiring binatang peliharaannya. Di tempat lain, nelayan di ujung desa giat menebar jala-jala pengharapan. Sementara denyut perekonomian berdetak kencang di pasar tradisional. Kesejahteraan dibangun cita-cita diwujudkan.

Di kampung, anak-anak bermain dengan ceria di jalan desa. Menjelang senja masjid di tengah desa dipenuhi anak-anak dan remaja yang belajar mengaji. Kehidupan menggelinding begitu saja dengan damai.

Namun, semua pemandangan indah itu sirna dalam sekejap seiring dengan datangnya mimpi buruk. Pada 29 Mei 2006, sumur gas yang dibor PT Lapindo Brantas tak jauh dari kampung mereka bocor. Sumur menyemburkan lumpur panas dan bau menyengat gas beracun.

Sumber Sigi menyebut, kebocoran diduga kuat karena kelalaian Lapindo yang tidak memasang casing atau selubung pipa untuk mengantisipasi kemungkinan bocor jika mata bor patah. Pelan tapi pasti semburan lumpur yang berasal dari Sumur Banjar Panji Satu menggenangi desa-desa di sekitarnya.

Berdasarkan penyelidikan tim investigasi pertama yang dibentuk pemerintah, salah satu kesalahan utama Lapindo adalah memindahkan rig beberapa saat setelah muncul semburan. Padahal, kata Rudi Rubiandini, mantan ketua tim investigasi, saat itu rig sangat dibutuhkan untuk tindakan lebih lanjut menghentikan kebocoran. Ada dugaan ini merupakan upaya menyelamatkan aset. Maklum, harga satu unit rig mencapai 200 miliar rupiah.

Setiap hari sekitar 125 ribu meter kubik lebih lumpur menyembur. Luapan lumpur menenggelamkan desa, belasan pabrik tutup, dan sedikitnya 10 ribu lebih rumah terkubur, serta 600 hektare sawah tak bisa dipanen. Begitu pula kantor, sekolah bahkan jalan tol lumpuh akibat tertutup lumpur. Diperkirakan kerugian yang ditimbulkannya mencapai 7,6 triliun rupiah atau setara dengan enam kali Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Sidoarjo.

Lumpur juga mengakibatkan lebih dari 20 ribu orang mengungsi karena kampung mereka terkubur lumpur. Salah satunya Ibu Warkim. Perempuan ini bersama warga lain mengungsi ke Pasar Baru, Porong. Sebelum petaka Lapindo datang, Ibu Warkim hidup berkecukupan dari hasil sawahnya.

Penderitaan serupa dirasakan Katijah, warga Desa Siring. Ibu delapan anak ini kehilangan rumah yang dulu dibangun dengan susah payah oleh mendiang suaminya. Tak hanya itu, rumah enam anaknya juga musnah terkubur lumpur.

Dampak lumpur Lapindo secara langsung juga mengubah nasib para perajin kulit dan tas di Tanggul Angin. Omzet penjualan mereka ambles hingga 50 persen. Akibatnya banyak pemilik usaha yang merumahkan karyawan, mengoperkan tempat usaha, bahkan ada yang menjual toko dan segala aset usahanya.

Penderitaan yang dialami warga tak hanya dirasakan secara fisik, tapi juga menindih aspek psikologis. Diperkirakan 20 hingga 30 persen korban lumpur Lapindo menderita gangguan kejiwaan.

Seorang warga korban lumpur Lapindo sempat menjalani perawatan di Rumah Sakit Jiwa Menur, Surabaya. "Biasanya jiwa mereka terguncang jika mengalami musibah atau bencana," kata dokter Hendro.

Atas semua kerugian itu, warga korban Lapindo pun menuntut pertanggungjawaban perusahaan. Mereka meminta ganti rugi atas tanah dan rumah mereka yang terendam lumpur. Warga sempat marah seiring berlarut-larutnya penyelesaian ganti rugi. Aksi unjuk rasa pun sering mereka lakukan. Bahkan, warga sempat memblokade jalan raya, jalur kereta api hingga mengancam akan menduduki aset Lapindo.

Menanggapi aksi warga, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta PT Lapindo Brantas membayar hingga 3,8 triliun rupiah untuk mengatasi dampak bencana. Dari jumlah tersebut, 2,5 triliun di antaranya adalah untuk membayar aset warga yang lenyap. Sisanya untuk mendanai upaya penghentian atau mengurangi semburan lumpur. "Lapindo diwajibkan menyelesaikan 20 persen ganti rugi bagi warga paling telat akhir Maret ini," kata Presiden.

Namun pada praktiknya, proses ganti rugi berjalan alot lantaran terjegal persyaratan yang diajukan perusahaan. Lapindo mensyaratkan adanya sertifikat kepemilikan tanah dan lahan. Padahal, warga yang bisa memenuhi ketentuan itu kurang dari sepuluh persen [baca: Lapindo Kembali Mengajukan Syarat Pembelian Tanah Warga].

Berlarut-larutnya penyelesaian masalah sosial ini, menurut Wakil Ketua Komisi VII DPR Sony Keraf, akibat kelalaian pemerintah yang tidak segera merespons petaka lumpur Lapindo. Bahkan, peneliti Indonesian Institut, Tata Mustasya menyebut perlunya peran pemerintah untuk memaksa PT Lapindo membayari semua ganti rugi kepada warga. "Bila perlu dengan mengejar hingga ke harta pribadi pemiliknya, keluarga Aburizal Bakri," kata Tata.

Namun bagi warga korban lumpur Lapindo, tak penting dari mana dana untuk ganti kerugian berasal. Mereka hanya menghendaki apa yang sudah terenggut akibat lumpur bisa dikembalikan lagi. Tapi, apabila berkaca pada sikap Lapindo, sepertinya kisah panjang penderitaan warga yang terbenam lumpur belum akan berakhir.

Sepuluh bulan sudah sumur itu bocor dan Porong memanen lumpur panas. Wilayah yang tergenang kian meluas. Jalan Tol Porong-Sidoarjo yang dulu masih bisa dilewati kini sudah tertutup lumpur. Bahkan sejumlah permukiman sudah tenggelam tertutup lumpur.

Sejauh ini upaya menjinakkan Sumur Banjar Panji Satu belum membuahkan hasil. Karena itu pemerintah sengaja memperpanjang tugas Tim Nasional Penanggulangan Lumpur Lapindo. Salah satu upaya yang dilakukan tim untuk meminimalkan semburan adalah dengan cara memasukkan bola-bola beton ke pusat semburan [baca: Timnas Terus Menutup Sumber Semburan Lumpur].

Ada seribu rangkaian bola beton seberat 300 kilogram yang akan diceburkan. Metode ini sebetulnya tidak akan menghentikan aktivitas semburan melainkan hanya mengurangi volume lumpur hingga 75 persen. Banyak ahli menyebut upaya ini hanya mengulur waktu untuk menangani dampak lumpur di permukaan, yakni membuat tanggul permanen dan kanal yang akan menyalurkan lumpur ke kali Porong.

Sebelum metode bola beton dilaksanakan, beberapa upaya pernah diusulkan dan dilakukan untuk menghentikan semburan. Mulai dari menutup dengan batu-batuan, meruntuhkan lubang dengan ledakan hingga memakai rudal beton. Namun, pemasangan relief well yang diyakini para ahli bisa diandalkan malah tidak diteruskan.

"Cara seperti itu bisa saja dilakukan, tapi saat itu kondisi untuk pondasi reliief well tidak memungkinkan," dalih Yuniwati.Teryana, Vice Presiden Human Resource & Relation PT Lapindo.

Belakangan tim ahli yang ditunjuk DPRD Jatim mengusulkan pilihan lain. Menurut HM Yuwono, salah satu anggota tim, apabila semburan tidak bisa dihentikan, aliran lumpur sebaiknya dibuang ke laut melalui kanal di sepanjang Kali Porong.

Berbagai skema itu ternyata baru berhasil di atas kertas. Faktanya, sudah sepuluh bulan kampung pahlawan buruh Marsinah berubah menjadi lautan lumpur beracun. Nasib wilayah yang terendam lumpur semakin tidak jelas. Tragisnya lagi, menurut prediksi para ahli, tanah sekitar Porong bakal ambles hingga 200 meter lebih pada 30 tahun mendatang jika lumpur tak bisa dijinakkan.

Pemerintah mengaku lebih berkonsentrasi menangani warga. Masalah semburan lumpur, kata Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar, adalah persoalan masyarakat. "Kalau dari sisi pemerintah, masyarakat harus diamankan, semburan lumpur ditutup, dan penegakan hukum dilakukan. Ketiga itu bisa berjalan bersamaan," ujar Rachmat.

Kini kesunyian dan kesedihan lebih banyak menyelimuti warga Porong. Wilayah yang dulu hijau sekarang berubah tampang. Sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah hamparan lumpur panas.

PT Lapindo Brantas Incorporated adalah anak perusahaan kelompok usaha PT Energi Mega Persada milik Aburizal Bakrie. Perusahaan ini hampir menguasai sumur gas dan minyak bumi di Jawa Timur. Dari 49 sumur yang tersebar di Kota Sidoarjo, Pasuruan, dan Mojokerto, PT Lapindo menguasai 28 sumur gas dan minyak di Jawa Timur. Mereka mendapatkan sumur itu dari tangan Haffco Incorporated.

Menurut Yuniwati  perusahaan mulai beroperasi pada 1999. Saat jumlah produksi hanya mencapai empat juta kaki kubik. "Kini dari 21 sumur, produksinya meningkat hingga 25 juta kaki kubik per hari," kata Yuniwati.

Dari sumur-sumur itu sudah jelas mengucur uang ke pundi-pundi Lapindo. Tapi, ironisnya pemerintah setempat tak pernah mendapatkan bagian sepadan. Kenyataan ini diakui Win Hendrarso, Bupati Sidoarjo. Win mengatakan, dari semua gas yang dimiliki PT Lapindo ternyata belum memberikan konstribusi yang signifikan terhadap keuangan daerah.(IAN/Tim Sigi)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya