Menurut RN, keterangan itu berdasarkan informasi dari anaknya melalui telepon. Dugaan Cliff disuntik formalin muncul karena adanya bekas-bekas suntikan di beberapa bagian tubuh korban . Identitas nara sumber dirahasiakan demi keselamatan anaknya yang masih kuliah di IPDN.
Di lain pihak, polisi juga meyakini ada kesengajaan untk mengesankan kasus ini sebagai kematian biasa. Hal itu berdasarkan pemeriksaan para praja yang dipecat serta bukti bekas suntikan formalin di jasad Cliff. Jika terbukti, kekerasan di IPDN bisa dikategorikan dalam tindak kriminal terencana. Sesuai Kitab Undang-undang Hukum Pidana, tersangka yang terlibat terancam hukuman 12 tahun penjara karena telah mengakibatkan kematian.
Advertisement
Sementara kecaman terhadap masih berlanjutnya tradisi kekerasan di Kampus IPDN terus bergulir dari berbagai lapisan masyarakat. Menurut praktisi pendidikan Arief Rahman, kematian yang dialami Cliff murni kekerasan. "Murni sebuah kultur yang menunjukkan saya lebih berkuasa dari kamu, saya lebih mempunyai kewenangan dari kamu," jelas Arief.
Kecaman serupa diutarakan Wakil Ketua Komisi II DPR Priyo Budi Santoso. Ia bahkan berharap IPDN dilebur menjadi sebuah universitas. Priyo juga menginginkan agar seluruh jajaran pemimpin di lingkungan kampus tersebut diganti.
Lain lagi pendapat Presiden Partai Keadilan Sejahtera Tifatul Sembiring. Ia menginginkan agar insiden yang menimpa Cliff dievaluasi lagi untuk dicari jalan keluarnya. "Masih bisa diperbaiki atau tidak. Sebab kita bukan hanya sekadar hancurkan atau bubarkan," ujar Tifatul.
Kekerasan yang terjadi di Kampus IPDN sudah lama terjadi yakni sewaktu kampus tersebut bernama Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN). Kematian Wahyu Hidayat empat tahun silam terulang lagi dengan tewasnya Cliff, pekan silam . Fakta itu diamini sejumlah mantan praja, di antaranya Arie Aditya dan Gusti Kresna Putra. "Dari pertama masuk diancam, dikasih tahu bahwa di sini (IPDN) pemukulan masih ada," ucap Gusti.
Dampak dari kekerasan itu mereka terpaksa keluar dari kampus dan memupus mimpinya menjadi seorang pamong. Alasan keduanya sama, mereka tak kuat menahan siksaan dari para seniornya. Nunu Karsa Nugraha, mantan praja IPDN bahkan takut menceritakan kekerasan yang dialaminya kepada temannya. "Kalau ada yang berbicara apapun pasti kenanya akan lebih berat lagi," tutur Nunu.
Kasus Wahyu Hidayat dan Cliff cuma potret kecil kekerasan di kampus itu. Sudah banyak praja yang tewas akibat kekerasan di IPDN. Dalam dokumen yang merupakan hasil penelitian Inu Kencana, Dosen IPDN, sebanyak 35 praja tewas akibat pemukulan yang disebut-sebut sebagai pembinaan fisik itu.
"Mereka diikat, ditelanjangi, digebukin. Kalau yang perempuan disuruh makan muntah," jelas Inu. Dari temuan itu Inu bertekad akan tetap membongkar tiap kasus yang menimpa para siswanya. "Bukan cari popularitas, ini cinta kasih seorang guru," tambah dia.
Namun temuan itu dibantah Sekretaris Jenderal Departemen Dalam Negeri Progo Nurjaman. Progo mengatakan sejak tahun 1993 ada 27 orang yang meninggal. "(Dan) yang meninggal karena kekerasan ada tiga," kata Progo.
Setiap kasus kekerasan terungkap di Kampus IPDN, praja yang menjadi tersangka langsung dipecat. Tapi masalahnya, apakah pemecatan praja memadai untuk menjadi solusi akhir mengatasi kekerasan yang telah bertahun-tahun terjadi?
Wakil Presiden Jusuf Kalla bahkan heran pembinaan hingga menewaskan Cliff sampai tidak terdeteksi. "Yang terjadi adalah penyimpangan dari aturan. Dan ini harus segera diakhiri," ujar Kalla.(AIS/Tim Liputan 6 SCTV)