Liputan6.com, Sumedang: Inu Kencana, dosen senior Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), telah diperiksa tim investigasi Departemen Dalam Negeri, Selasa (10/4). Inu diperiksa di kampus IPDN, Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, sejak pukul 09.00 WIB hingga pukul 17.00 WIB [baca: Polisi Akan Memeriksa Dokter RS Al Islam].
Dalam pemeriksaan tersebut, Inu diminta menjawab 20 pertanyaan. Pertanyaan berkisar pada aksi kekerasan yang dilakukan praja senior IPDN dan bukti-bukti yang dimiliki Inu. Selain itu Inu dijuga dicecar pertanyaan soal tindakannya membuka kasus di IPDN ke media massa.
Inu menjelaskan, berdasarkan data yang dimiliki sedikitnya 35 orang meninggal dalam proses pendidikan atau setelah lulus IPDN, dan 17 di antaranya meninggal tidak wajar. Inu juga menjelaskan dirinya diperkenankan kembali untuk mengajar di IPDN [baca: Pihak IPDN Mencoba Menutupi Kekerasan di Kampus].
Sementara itu, pemerintah merasa perlu meluruskan maraknya tanggapan publik atas penonaktifan Inu. Menteri Dalam Negeri ad interim, Widodo AS menegaskan, Inu diliburkan untuk sementara dari kegiatan mengajar agar lebih leluasa memberikan keterangan kepada tim investigasi Depdagri
Pendirian Inu untuk mengungkap fakta kasus kekerasan di IPDN memang mengundang kecaman dari sejumlah pihak. Bahkan, sempat memicu kebencian dari para praja. Tak urung Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono berkomentar atas sikap Inu ini. "Tak boleh kontra produktif. Berikan kepada siapa pun untuk mengungkap kebenaran. Tapi, dengan cara dan etika yang benar," kata Presiden.
Atas kejadian ini, Inu sempat dinonaktifkan dari kegiatan mengajar. Sejumlah pihak mempertanyakan mengapa orang yang mau bercerita tentang kebenaran justru dikenakan sanksi. Ketua DPR, Agung Laksnono, misalnya. Menurut Agung, semestinya yang harus bertanggungjawab bukan dosen, tapi pimpinan.
Dukungan terhadap sikap Inu juga datang dari Ketua Himpunan Mahasiswa Islam, Fajar R Zulkarnaen, dan rohaniwan, Romo Sandyawan. Menurut Romo Sandyawan, yang harus diperiksa itu data-datanya, bukan Inu.(IAN/Tim Liputan 6 SCTV)
Dalam pemeriksaan tersebut, Inu diminta menjawab 20 pertanyaan. Pertanyaan berkisar pada aksi kekerasan yang dilakukan praja senior IPDN dan bukti-bukti yang dimiliki Inu. Selain itu Inu dijuga dicecar pertanyaan soal tindakannya membuka kasus di IPDN ke media massa.
Inu menjelaskan, berdasarkan data yang dimiliki sedikitnya 35 orang meninggal dalam proses pendidikan atau setelah lulus IPDN, dan 17 di antaranya meninggal tidak wajar. Inu juga menjelaskan dirinya diperkenankan kembali untuk mengajar di IPDN [baca: Pihak IPDN Mencoba Menutupi Kekerasan di Kampus].
Sementara itu, pemerintah merasa perlu meluruskan maraknya tanggapan publik atas penonaktifan Inu. Menteri Dalam Negeri ad interim, Widodo AS menegaskan, Inu diliburkan untuk sementara dari kegiatan mengajar agar lebih leluasa memberikan keterangan kepada tim investigasi Depdagri
Pendirian Inu untuk mengungkap fakta kasus kekerasan di IPDN memang mengundang kecaman dari sejumlah pihak. Bahkan, sempat memicu kebencian dari para praja. Tak urung Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono berkomentar atas sikap Inu ini. "Tak boleh kontra produktif. Berikan kepada siapa pun untuk mengungkap kebenaran. Tapi, dengan cara dan etika yang benar," kata Presiden.
Atas kejadian ini, Inu sempat dinonaktifkan dari kegiatan mengajar. Sejumlah pihak mempertanyakan mengapa orang yang mau bercerita tentang kebenaran justru dikenakan sanksi. Ketua DPR, Agung Laksnono, misalnya. Menurut Agung, semestinya yang harus bertanggungjawab bukan dosen, tapi pimpinan.
Dukungan terhadap sikap Inu juga datang dari Ketua Himpunan Mahasiswa Islam, Fajar R Zulkarnaen, dan rohaniwan, Romo Sandyawan. Menurut Romo Sandyawan, yang harus diperiksa itu data-datanya, bukan Inu.(IAN/Tim Liputan 6 SCTV)