"Pembantaian" di Barak IPDN

Budaya kekerasan yang berulang di Kampus IPDN tak ubahnya "pembataian" para praja junior. Sel mirip penjara, lorong penganiayaan dan makam tanpa nama dalam kampus jadi bukti kekerasan yang terjadi.

oleh Liputan6 diperbarui 15 Apr 2007, 13:59 WIB
Liputan6.com, Sumedang: Skandal penganiayaan praja Cliff Muntu masih belum berakhir. Seperti kematian Wahyu Hidayat pada 2003 akibat penganiayaan para seniornya, fakta kematian praja asal Sulawesi Utara ini ternyata hendak ditutup-tutupi oleh petinggi dan dosen di kampus pencetak birokrat Tanah Air ini.

I Nyoman Sumaryadi, rektor yang kini dinonaktifkan, awalnya selalu menyebutkan Cliff tewas akibat penyakit lever. Namun setelah penyelidikan polisi berkembang, barulah ia memberikan kesaksian yang sebenarnya. Yaitu, Cliff tewas akibat penganiayaan praja nindya di barak DKI pada 3 April lalu. "Pada malam kegiatan pembinaan pataka (latihan pengibar bendera IPDN), dia (Cliff) terlambat sehinga terjadi egoisme korp," Nyoman mengungkapkan.

Saat kematian Cliff terkuak, Kepolisian Resor Sumedang yang menangani kasus ini langsung memeriksa dan menahan para senior IPDN yang terlibat. Jumlah mereka lebih dari 10 orang. Sebagian dari mereka kini sudah menyandang status tersangka.

Pelan tapi pasti, misteri kematian Cliff ini terus menemukan titik terang. Sejumlah orang dalam termasuk dosen IPDN Inu Kencana melaporkan kejadian-kejadian penganiayaan yang terjadi di kampus yang dahulu bernama Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam negeri (STPDN). Inu melaporkan cara-cara penganiayaan yang dilakukan praja nindya kepada polisi dan berbagai media. Begitu juga soal jumlah 35 praja yang tewas di IPDN selama kurun waktu 1990 hingga 2003. "Betapa sakitnya pukulan-pukulan praja senior itu," kata Inu.

Berkat laporan orang tua praja, terungkap juga kejahataan lain. Jasad Cliff ternyata disuntik satu liter formalin setelah tewas dianiaya. Sang penyuntik adalah Supandi alias Iyeng, karyawan sebuah yayasan kematian di Bandung. Iyeng mengaku menyuntik formalin atas perintah Dekan Fakultas Manajemen Pemerintahan IPDN Lexy M. Girott untuk mengaburkan penyebab kematian Cliff [baca: Iyeng Supandi Mengaku Menyuntikkan Formalin].

Iyeng menambahkan formalin yang disuntikkan ke tubuh Cliff sebanyak lima kali di Rumah Sakit Al Islam Bandung. Setiap suntikan sebanyak 350 cc. Atas jasanya itu Iyeng mendapat imbalan Rp 300 ribu dari sang dekan.

Dari penelusuran tim Sigi, Cliff adalah target para senior yang lama geram lantaran sepak terjangnya yang kerap vokal dan kritis. Sebagai ketua kontingen dari Sulut, Cliff sering mewakili teman-temannya mempertanyakan sejumlah kebijakan yang janggal di IPDN. Protesnya di antaranya soal praktik pungutan kepada praja dan pemotongan gaji sebesar Rp 65 ribu oleh pimpinan kampus semi militer ini.

Kekerasan di kampus yang dibiayai rakyat ini memang tak berubah setelah kematian Wahyu. Tim Sigi menemukan sebuah lorong dalam sebuah bangunan yang kerap dijadikan arena penganiayaan praja nindya terhadap para junior. Kekerasan brutal para senior kerap dilakukan di lorong ini.

Selain itu, sejumlah sel tahanan yang mirip penjara juga ditemukan tim Sigi di kampus calon abdi negara. Menurut seorang sumber, sel-sel itu kerap digunakan untuk menghukum praja yang melanggar aturan. Tak hanya itu, di dalam Kampus IPDN ternyata ada sejumlah kuburan di dekat sebuah semak belukar yang tak jauh dari klinik kampus. Ada juga beberapa makam dengan batu nisan tanpa nama.

Keberadaan makam tanpa nama mengingatkan pada cerita praja yang menghilang tanpa jejak. Sebut saja praja asal Kalimantan Timur bernama Abdul Rahman. Praja angkatan 1991 ini menghilang setelah menimba ilmu di STPDN. Keluarga sudah 15 tahun tidak mendengar Rahman. Tak sedikit pun ada kabar tentang nasib Rahman dari pimpinan STPN.

Sel tahanan dan lorong penyiksaan serta makam itu sepertinya menggambarkan kekerasan yang terjadi di IPDN. Kejam. Ternyata pascakematian Wahyu, kekerasan oleh praja senior berulang. Cliff yang kemudian menjadi korban. Sementara perubahan yang dulu dicanangkan pemerintah hanya wacana, apalagi setelah STPDN berganti nama IPDN.

Kini, Nyoman memang telah dicopot sebagai rektor. Sementara pemeriksaan para saksi dan tersangka yang tak lain praja senior masih terus dijalankan Polres Sumedang. Pemerintah juga masih berupaya membenahi permasalahan IPDN dengan membentuk tim evaluasi yang dipimpin Ryaas Rasyid. Tapi desakan sejumlah daerah memboikot pengiriman praja ke IPDN tampaknya tak bisa dibendung [baca:  Ryaas Rasyid Optimistis Mereformasi IPDN].

Masyarakat Indonesia bisa dikatakan sudah terlukai hati nuraninya dengan skandal kekerasan di kampus yang didanai dari negara sebesar Rp 150 miliar per tahun. Kematian Wahyu dan Cliff ini mungkin harga mahal yang tak mungkin menghapus sejarah kelam IPDN.(ZIZ/Tim Sigi)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya