Unih contohnya, tak mau lagi memakai kompor dan gas gratis dari pemerintah. Selain merasa tak terlalu paham menggunakannya, harga gas yang mencapai Rp 12.750 per tiga kilogram ternyata masih lebih mahal ketimbang harga minyak tanah yang hanya mencapai Rp 2.750 per liter. Untuk membelinya pun Unih harus berjalan cukup jauh dan makan biaya.
Hal serupa dilakukan Halimah. Kompor gas gratis miliknya sudah rusak. Dia terpaksa kembali menggunakan kompor minyak tanah bahkan kayu bakar untuk lebih menghemat. Penghasilan suaminya yang hanya kuli bangunan juga tak mampu membeli gas. Apalagi gas dari Pertamina dijual di atas harga eceran yang ditetapkan.
Advertisement
Minyak tanah tampaknya masih menjadi pilihan masyarakat kecil lantaran murah dan mudah didapat. Jika demikian, konversi minyak tanah ke gas elpiji dikhawatirkan membuat warga makin terpuruk. Pemerintah perlu melakukan terobosan kebijakan yang bisa memberi kemudahan bagi rakyat kecil bukan sekadar memberi kompor dan gas gratis.(TOZ/Nahyudi)