Salah satu daerah sasaran pembalak adalah Kalimantan Barat. Bumi Borneo yang berabad-abad identik dengan hutan hujan tropis kini hanya tinggal kisah masa lalu. Pembalakan liar telah memporandakan hutan Kalimantan. Perampokan hutan merebak di kalimantan sejak 1998 ketika otonomi daerah dibuka. Para cukong datang memberi modal, alat berat, dan mengimingi duit ke warga.
Warga beramai-ramai hidup menjadi pembalak liar demi mengejar Rp 100 ribu hingga Rp 200 ribu untuk tiap semeter kubik kayu yang mereka dapatkan. Pembalakan sudah merambah dua taman nasional di Kalimantan, yakni Danau Sentarum serta Betung Kerihun. Tentu para cukong tidak hanya bekerja sama dengan warga setempat, mereka juga berkomplot dengan para aparat "nakal".
Advertisement
Kayu hasil pembalakan liar di hutan taman nasional adalah meranti, bengkirai, ulin, dan ramin. Untuk kayu meranti biasanya dipasarkan untuk kebutuhan domestik di Kalbar dan Pulau Jawa. Namun kayu bernilai ekonomis tinggi seperti bengkirai, ulin, dan ramin dilempar ke pasar internasional dengan berlabuh dahulu di Malaysia untuk diputihkan.
Mafia pedagang kayu bak diberi gelaran karpet merah. Betapa tidak, mau lewat jalur air tersedia banyak sungai yang bermuara ke pantai barat Kalbar. Lewat darat juga tersedia banyak jalan tikus yang terbentang di sepanjang perbatasan Kalbar dengan Negara Bagian Serawak. Salah satu jalur air yang kerap digunakan adalah di Kabupaten Ketapang.
Mengurangi kerusakan hutan lebih parah lagi, tim Anti-illegal logging Mabes Polri kerap menyisir sungai-sungai dan hutan di Kalbar. Hingga akhir bulan ini operasi terus berlangsung untuk memburu Geng Sabah (komplotan perampok hutan Indonesia). Selama sebulan terakhir, polisi telah menyita puluhan ribu meter kubik berbagai jenis kayu di berbagai lokasi.
Operasi paling spektakuler adalah penyegelan sawmil milik Asong. Di pabrik pengolahan kayu besar ini ditemukan sejumlah piagam penghargaan yang diterima Asong dari sejumlah instansi penting di Kalbar. Hal ini menunjukkan Asong mempunyai pengaruh besar. Hingga pertengahan Juni, tim telah menyita 20 ribu batang kayu dan mengungkap lebih dari 20 kasus serta menyeret 19 orang sebagai tersangka.
Selain Asong, ada dua cukong besar lain yang disebut-sebut membalak kayu di hutan Kalbar dan sangat dicari polisi. Mereka adalah Hengking dan Apeng alias Ngu Tung Peng. Keduanya dikenal sebagai Geng Sabah. Apeng dikenal sebagai cukong kayu terbesar yang sudah belasan tahun bermain di hampir semua hutan Tanah Air mulai Sumatra, Kalimantan, hingga Papua.
Di Kalimantan, Apeng diyakini menjarah kayu-kayu hutan lindung dan taman nasional. Hutan yang sudah digasak di antaranya di Kabupaten Kapuas Hulu dan di wilayah Badau yang berbatasan langsung dengan Lubuk Antu, Sarawak. Asong pernah menjadi tersangka kepemilikan 13 ribu meter kubik kayu tanpa dokumen, namun dia diputus bebas oleh Pengadilan Negeri Pontianak.
Dengan menyamar sebagai pengusaha, tim Sigi menemui Apeng di sebuah restoran di Kota Sibu, Serawak. Apeng yang merupakan bekas anggota Marinir Malaysia ini mengaku kecewa karena sudah belasan tahun berbisnis kayu di Indonesia, namun baru kali ini diburu-buru aparat. Apeng menyebutkan, semua bisnisnya legal dan punya izin.
Sebelum lari ke Sibu, dalam wawancara di suatu tempat, Apeng mengaku mengeluarkan lebih Rp 10 miliar untuk pejabat, aparat, dan warga perbatasan Kalbar. Hal ini dapat menggambarkan jika pengaruh cukong ini kuat dan besar. Pantas jika Apeng dapat melenggang bebas kembali ke kampung asalnya setelah mengeruk keuntungan dari bisnis kayunya di Bumi Indonesia.
Indonesia melarang penjualan kayu-kayu gelondongan ke luar negeri sejak tahun 2001. Tiga tahun kemudian, larangan berlaku pula bagi kayu balokan. Namun peraturan tinggal peraturan. Log maupun balok-balok kayu curian dari Bumi Borneo mengalir terus ke negeri Jiran, bahkan hingga saat ini [baca: Hutan Indonesia "Pindah" ke Malaysia].
Pelabuhan Hardwood Timber, Sematan, Sarawak menjadi tempat bertransaksi. Pelabuhan ini selalu sibuk lalu lalang kapal motor dari Kalbar dan Kalimantan Tengah. Kapal-kapal membawa ratusan meter kubik kayu curian baik yang belum diolah dan batangan. Semua berlangsung terbuka. Kayu itu ditampung perusahaan yang dibentuk khusus Pemerintah Serawak untuk menangani bisnis kayu.
Jadilah Malaysia sebagai penghasil kayu terbesar di dunia. Ironisnya, Indonesia nyaris tidak pernah dapat memaksa negeri tetangga itu untuk menghentikan menjadi penadah kayu-kayu haram dari hutan Indonesia. "Harus bisa menyita kayu sebelum masuk Hardwood. Kalau sudah masuk tidak dapat berbuat apa-apa," kata seorang pejabat Pemerintah Provinsi Kalbar Sumarno.
Meski hutannya tak seluas Indonesia, Malaysia dikenal sebagai pengekspor kayu terbesar dunia. Di Negara Bagian Sarawak, industri kayu masih sangat bergairah seolah siap memangsa setiap kayu yang datang dari para pembalak hutan. Inilah penyebab mengapa pembalakan liar tidak pernah bisa dikikis habis. "Ini suatu aktivitas kriminal yang sangat terorganisir," kata Menteri Kehutanan M.S. Kaban.
Agen Investigasi Lingkungan Hidup Dunia yang berbasis di London dan Washington (EIA) serta Telapak (Indonesia) mengungkapkan, Malaysia memang menjadi bagian penting dari sindikat perdagangan kayu ilegal dunia. Perannya melegalkan tiap kayu yang ditebang secara ilegal dari hutan Indonesia sebelum melemparnya ke pasar kayu dunia dengan harga berlipat-lipat.
Setiap tahun, industri kayu dunia menyerap sekitar 30 juta meter kubik kayu ilegal Indonesia. "Mereka [Malaysia dan Singapura] kirim ke Cina, India, Vietnam bahkan langsung ke Amerika dan Eropa," kata aktivis dari Telapak, M. Yayat Afianto. Akibat bisnis kayu gelap haram ini, pihak Indonesia mengalami kerugian mencapai Rp 40 triliun per tahun.
Kokohnya gurita bisnis kayu ilegal dan besarnya permintaan bahan baku kayu dari pihak Malaysia menjadikan pembalakan liar tak pernah benar-benar mati. Sudah saatnya pemerintah mengarahkan mata pembangunan ke wilayah perbatasan. Penciptaan lapangan kerja baru dan kegiatan ekonomi alternatif akan lebih ampuh membendung laju illegal logging ketimbang operasi yang sifatnya responsif dan sesaat.(JUM/Tim Sigi)