Merkuri, Bom Waktu di Bumi Kapuas

Pencemaran merkuri di Sungai Kapuas menembus angka 40 ppb atau 40 kali batas normal. Celakanya, logam berat yang biasa dipakai penambang emas ini telah meracuni sumer PDAM Pontianak, Kalbar.

oleh Liputan6 diperbarui 08 Jul 2007, 13:28 WIB
Liputan6.com, Jakarta: Emas tetaplah emas. Di manapun berada, dia diburu dengan segala cara. Tengoklah ke sepanjang Sungai Kapuas. Orang-orang menggantungkan hidup dengan menjadi penambang emas terapung di atas arus sungai yang deras. Dari hulu hingga ke hilir.

Rata-rata setiap kelompok dalam satu lanting atau rakit penambang di Sungai Kapuas ini bisa memperoleh 4-8 gram emas setiap hari. Harga segram emas di kalangan penambang saat ini berkisar antara Rp 140 hingga 176 ribu. Alhasil, setiap kelompok penambang bisa beroleh pendapatan kotor lebih dari RP 1 juta per hari. Jumlah yang sangat besar dibanding kerja apapun di Bumi Khatulistiwa ini.

Dari penelusuran Tim Sigi SCTV, saat ini setidaknya ada 2.000 mesin diesel di sepanjang Sungai Kapuas dan anak-anakannya. Jumlah pekerja diperkirakan mencapai lebih dari 10 ribu orang yang terbagi dalam 1.400an kelompok penambang. Ironisnya, mayoritas penambang itu tak berizin alias penambang liar.

Para penambang itu umumnya berpindah-pindah. Psalnya, cadangan emas Kapuas diduga menipis setelah dikeruk massal pascakrisis moneter 1997. Tak hanya di atas Sungai Kapuas, para pemburu emas juga merambah ke daratan. Menggerus setiap bukit dan pegunungan di Kalimantan.

Tim Sigi yang menelusuri, bahkan sudah masuk ke sejumlah cagar alam dan taman nasional yang dilindungi. Jejak mereka membekas di Cagar Alam Mandor. Tim Sigi menemukan lebih dari 30 mesin penambang masih menderu di hutan lindung ini. Menyedot setiap butir emas di setiap jengkal tanah Mandor.

Meski ilegal, aksi para penambang ini bisa tetap berlangsung bertahun-tahun. Para penambang mengaku sudah membayar uang keamanan kepada aparat yang setiap bulan datang mengunjungi kamp-kamp penambangan. Pemerintah Daerah setempat seperti tak berdaya. Yang bisa dilakukan hanya sebatas mendata keberadaan para penambang.

Data Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kalimantan Barat menyebut produksi emas para penambang diperkirakan mencapai 8 kilogram lebih per hari. Ini artinya, produksi emas per tahun para penambang emas tak berizin ini mencapai hampir tiga ton. Jika harga satu gram emas Rp 170 ribu maka peredaran uang para penambang di Kalbar mencapai Rp 500 miliar lebih per tahun.

Kabar tak sedapnya, pencemaran berat terjadi di mana-mana. Pasalnya, para penambang menggunakan merkuri untuk memproses emas. Untuk satu gram emas, setidaknya dibutuhkan 1 hingga 2 gram merkuri atau air raksa. Jadi konsumsi logam beracun merkuri para penambang di Kalbar mencapai 5 hingga 6 ton per tahun.

Para penambang emas di Kalbar memang terbiasa menggunakan air raksa atau merkuri untuk memisahkan emas dari pasir dan tanah. Sudah turun-temurun. Bahkan menurut sejarah, penggunaan merkuri sudah dilakukan sejak sebelum jaman kemerdekaan. Namun, puncaknya terjadi pascakrisis moneter dimana hampir 20 ribu orang beralih profesi menjadi penambang emas.

Di tangan penambang, merkuri dipegang layaknya bukan barang berbahaya. Padahal uapnya bisa terhirup atau masuk ke tubuh lewat pori-pori kulit. Soal bahaya dan resikonya terhadap kesehatan tubuh apalagi soal dampaknya bagi lingkungan nyaris tak pernah digubris. "Dampak merkuri baru tampak 15-20 tahun ke depan," ujar Tri Budiarto, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Provinsi Kalimantan Barat.

Para penambang sepertinya juga tak mendapatkan bahan kimia alternatif selain merkuri. Zat ini satu-satunya bahan kimia yang mudah diperoleh di pasaran. Sejumlah penambang mengaku biasa membeli merkuri di toko-toko emas atau toko-toko penjual mesin diesel penyedot pasir atau mesin dompeng yang ada di kota-kota di sepanjang daerah aliran Sungai Kapuas.

Merujuk Data Dinas Pertambangan dan Energi setempat, jika produksi emas Kalbar setiap tahun mencapai hampir 3 ton dan pemrosesan satu gram emas diperlukan dua gram merkuri maka konsumsi merkuri para penambang di Kalbar mencapai 5-6 ton per tahun. Celakanya, setiap gram merkuri yang diperdagangkan di antara 100 persen ilegal alias merkuri selundupan.

PT Perusahaan Perdagangan Indonesia, satu-satunya perusahaan yang mendapat izin mengimpor merkuri ke Indonesia belum pernah sekalipun memasok merkuri ke Kalbar. Riset Sigi menyebut, dua per tiga merkuri dunia diproduksi Cina dan sisanya Kirgiztan. Kebanyakan dipakai untuk industri lampu neon, alat pengukur tekanan darah, dan termometer. Karena masuk dalam kategori bahan beracun dan berbahaya (B3), pemerintah menunjuk PT PPI sebagai importir khusus.

Pertanyaan besarnya, dari mana merkuri-merkuri selundupan itu bisa masuk ke wilayah Kalbar? Polisi punya fakta lebih nyata. Merkuri yang beredar di Kalbar ternyata dipasok sindikat internasional. Satu sindikat perdagangan gelap merkuri yang belum lama ini terbongkar adalah jaringan Ng Nam Hwat alias Amat yang berkoneksi dengan pemasok merkuri ilegal dari Jakarta.

Amat mengaku membeli merkuri dalam ukuran tabung-tabung seberat 34 kilogram dari Jakarta seharga Rp 15 juta per tabung. Di Pontianak, dia menjual merkuri-merkuri itu secara botolan seharga Rp 490 ribu per botol.

Jaringan kedua adalah jaringan Asun bin Cu Fa Tong. Asun inilah yang diyakini polisi menjadi salah satu pemasok merkuri ke daerah-daerah operasi para penambang liar di Mandor, Monterado, Singkawang, Sintang, Ketapang, dan Sekadau.

Kini, para pedagang merkuri memilih bertransaksi dengan cara sembunyi-sembunyi. Mereka hanya menjual kepada orang yang sudah dikenal atau menggunakan jasa kurir seperti yang terjadi di Pasar Durian, Sintang. Kepada Tim Sigi, seorang kurir mengaku bisa melayani 10 penambang setiap pekan. Para kurir biasa membeli merkuri di toko-toko mesin penyedot tambang atau toko-toko emas yang ada di Sintang setiap Jumat dengan harga Rp 80-90 ribu per ons.

Kerusakan yang ditimbulkan bukan main. Lihatlah wajah Cagar Alam Mandor yang terletak di Kabupaten Landak, Kalbar. Sepanjang 12 kilometer hanya terbentang gundukan pasir gersang dan patahan batang-batang pohon. Panas dan tak menyisakan kehidupan. Merkuri dan penambangan emas melumatkan sejumlah hutan dan cagar alam Mandor.

Tetes demi tetes merkuri juga jatuh dan mencemari Sungai Kapuas sepanjang seribu kilometer lebih berikut anak-anakan sungainya. Maklum, para penambang memburu emas hingga ke dasar sungai. Mereka mencampurkan merkuri ke sungai begitu saja. Padahal, Sungai Kapuas sebagai sungai terpanjang di Indonesia menjadi andalan masyarakat mulai dari transportasi, sumber aneka jenis ikan, mencuci, mandi, hingga menjadi pasokan baku perusahaan air minum daerah.

Bapedalda Kalbar menyimpulkan kualitas Sungai Kapuas sudah tercemar berat oleh racun merkuri buangan penambangan emas. Sepanjang tahun ini, Bapedalda memantau 13 titik dan menyebut tak satupun wilayah yang diuji memiliki kadar merkuri di bawah ambang batas normal sebesar 1 ppb. Di beberapa titik seperti hilir Sungai Landak, Siantan Hulu, muara Kapuas di Jungkat, dan muara Sungai Sudarso, kadar merikuriumnya bahkan menembus angka 40 ppb atau 40 kali batas normal.

Celakanya, outlet PDAM Pontianak di Jalan Imam Bonjol pun tercemar merkuri sebesar 3,64 ppb atau tiga kali dari batas yang dipersyaratkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001. Padahal pelanggan PDAM Pontianak saat ini sudah mencapai 63 ribu.

Selain air minum, penelitian bersama Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Tanjungpura, PPSDAK, BRSIP, dan Walhi beberapa tahun lalu menyebut penggunaan merkuri para penambang emas telah berdampak serius pada ikan dan manusia terutama yang berada di lokasi penambangan. Kandungan merkuri pada ikan-ikan di perairan Kapuas seperti ikan toman, lais, gabus, dan baung sudah terkontaminasi racun merkuri dengan konsentrat tinggi. Demikian pula dengan rambut dan kuku para penambang dan masyarakat di sekitarnya.

Meski dampak kerusakan dan pencemaran yang terjadi demikian dahsyat, namun kegiatan penambangan emas yang melibatkan ribuan warga ini tak mendatangkan pemasukan apapun ke kas pemerintah provinsi maupun kabupaten. Yang kaya hanyalah cukong-cukong pemilik tambang dan para pedagang merkuri dan emas di Kalbar dan sekitarnya.

Aparat keamanan dan pemerintah daerah mestinya mengambil cara yang lebih ampuh dan tegas untuk mengendalikan distribusi dan penggunaan merkuri. Dengan menyetop pasokan merkuril, Bumi Kapuas bisa diselamatkan dari kerusakan alam dan pencemaran logam berat berbahaya ini. Peraturan Daerah yang kini tengah digodok harus menyertakan sanksi berat terhadap setiap pengedar gelap merkuri.

Masyarakat Kalbar terutama para penambang emas semestinya juga bisa belajar dari berbagai tragedi akibat penggunaan merkuri secara serampangan di berbagai negara di dunia seperti Jepang, Irak, Pakistan, dan Guatemala. Banyak korban berjatuhan dan ribuan bayi lahir cacat karenanya. Tentu saja, kita tak berharap tragedi itu berulang di Bumi Kapuas.(TOZ/Tim Sigi SCTV)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya