Setiap hari, ia merawat 15 hingga 20 ekor burung yang sebagian besar dititipkan para pelanggan di rumahnya, Kampung Ngadiwinatan, Yogyakarta. Sementara burung miliknya hanya tiga ekor. Membersihkan kandang-kandang burung menjadi tugas pertama Bono. Sebelum kandang dibersihkan, sang burung harus dipindahkan.
Setelah dibersihkan, Bono mulai menyiapkan makanan burung. Perawatan selanjutnya beralih kepada sang asuhan. Bono cukup terampil memandikan dan melatih burung-burung tersebut agar pintar berkicau.
Advertisement
Profesi sejenis juga dilakoni Samet Hardiman. Warga Jalan Kranggan Dalam 32, Semarang, Jawa Tengah ini telah merintis usaha penangkaran burung sejak 1989. Dari modal nekat dan coba-coba, tanpa diduga perkutut tangkarannya menjuarai lomba burung perkutut lima tahun berselang. Sejak itulah, rumahnya sering dikunjungi para penggemar perkutut yang mencari bibit atau anakan perkutut yang berkualitas. Ia menjual anakan perkutut antara Rp 500 ribu hingga Rp 5 juta berdasarkan kualitas burung induk atau tergantung kelas juaranya.
Kini, pria berusia 56 tahun itu memelihara 120 perkutut unggulan. Sebanyak 40 pasang dimasukkan ke dalam berbagai kandang yang diberi nama mata uang berbagai negara. Mereka merupakan burung-burung jawara. Selain itu, rumah Slamet juga dipenuhi ratusan piala serta medali berbagai kejuaraan. Bagi warga yang tertarik memelihara atau berternak perkutut, Slamet akan menularkan ilmunya.
Bagi Bono dan Haryanto, burung merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari. Isu pemusnahan unggas memang sempat membuat gusar. Ribuan orang dapat kehilangan mata pencaharian jika hal itu dilakukan. Mereka berpendapat, unggas peliharaan akan sulit tertular flu burung bila kesehatannya terus dijaga.(RMA/Tim Liputan 6 SCTV)