Liputan6.com, Jakarta: Berbicara soal kesenian Betawi, lenong, ondel-ondel, dan tanjidor tak asing didengar. Namun rebana biang kemungkinan tak banyak diketahui. Maklum, rebana biang salah satu kesenian Betawi yang boleh dikatakan hampir punah.
Alat musik rebana yang dimainkan sekilas memang mirip rebana biasa. Tapi, lantaran ukurannya yang lebih besar, disebutlah rebana biang.
Advertisement
Salah seorang yang terus memperjuangkan kelestarian rebana biang adalah Abdulrahman. Ia adalah sesepuh langsung jenis kesenian tersebut. Pertama rebana biang dibawa oleh orang Banten, namanya Pak Kumis," kata Abdulrahman. Menurut pimpinan Sanggar Pusaka Rebana Biang, kesenian ini dibawa dari Banten sekitar tahun 1860.
Dalam pentas aslinya, kesenian rebana biang juga menyertakan gaya silat Cingkrik ala Betawi. Kesenian rebana biang tidak terlepas dari pengaruh Islam. Awalnya, rebana biang dimainkan saat menyambut tamu. Selanjutnya berkembang untuk hajatan nikah maupun khitanan. Masalahnya sekarang adalah rendahnya ketertarikan anak muda untuk meneruskan tradisi ini.
Tapi penduduk Kampung Betawi di bilangan Jagakarsa, Jakarta Selatan, seakan tidak berputus asa. Dengan Sanggar Pusaka yang dipimpinnya, Abdulrahman terus mengajak anak muda Betawi untuk mempelajari kesenian tradisi leluhurnya. "Kalau bukan saya atau yang lain, siapa lagi," ujar seorang anggota Sanggar Pusaka Rebana Biang.
Di tangan generasi muda itulah, alunan pukulan dari rebana biang dipertaruhkan. Di sisa hidupnya, Abdulrahman terus berupaya agar tradisi leluhur khususnya kesenian Betawi bisa diteruskan oleh generasi muda. Jangan sampai, rebana biang hanya tinggal cerita di Tanah Betawi.(ANS/Tim Liputan 6 SCTV)