Ketika Peluru Menembus Rahang Hakim Agung

Pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita tak menggoyahkan para hakim untuk menegakkan keadilan. Ciri-ciri pelaku dan senjata yang digunakan memiliki kedekatan dengan dunia militer.

oleh Liputan6 diperbarui 30 Jul 2001, 20:01 WIB
Fokus Hakim Agung

Liputan6.com, Jakarta: Seperti biasa, saban pagi Syafiuddin Kartasasmita berangkat kerja. Dari kediamannya di Jalan Lantana II No 1A RT 018/07, Perumahan Sunter Mas, Kelurahan Sunter, Kecamatan Tanjungpriok Jakarta Utara, Kamis pekan silam, pria yang menjabat sebagai Hakim Agung itu berpamitan kepada sang istri, Soimah, 58 tahun. Namun, tak biasanya Syafiuddin, 60 tahun, berangkat sebelum pukul 07.00 WIB. "Biasanya dia ke kantor sekitar pukul 08.00 atau pukul 09.00 WIB. Tapi, ya, saya hanya berpikir mungkin Bapak ada janji dengan rekan kerjanya," tutur Soimah. Kemudian, pria yang dikenal pendiam ini menyetir mobilnya sendiri, Honda CRV bernomor polisi B 999 KZ warna silver, menuju kantornya: Gedung Mahkamah Agung di Jalan Merdeka Barat. Begitu memasuki jalan yang berjarak dua kilometer dari rumahnya, sebuah sepeda motor bermerek Yamaha RX King yang ditumpangi dua orang menguntit laju kendaraan Ketua Muda Tindak Hukum Pidana itu. Saat itu Syafiuddin sedang melintas Jalan Serdang, di dekat pintu air sebelum jembatan yang menghubungkan Jalan Sunter Kemayoran dengan Jalan Bendungan Jago. Tak lama kemudian, sepeda motor itu menyalip mobil Syafiuddin dari pintu samping kanan. Seorang di antaranya melepaskan tembakan dan memecahkan kaca depan mobil. Dua peluru telak mengenai bahu kanan menembus ke punggung Syafiuddin. Masih belum puas, timah panas kembali dilesakkan dari jarak dekat sekitar 30 sentimeter. Satu peluru masuk dari belakang telinga kanan yang menyilang ke rahang sebelah kiri. "Peluru itulah yang menyebabkan korban langsung tewas seketika," kata dokter Abdul Mun`im Idris yang memimpin autopsi bersama tiga dokter lainnya dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Syafiuddin meninggal dalam perjalanan dari lokasi ke Rumah Sakit Islam Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Polisi segera beraksi. Setelah memperoleh konfirmasi dari Ketua MA Bagir Manan bahwa Syafiuddin adalah seorang hakim agung, polisi pun membentuk tim untuk mengungkap kasus itu. Tim itu termasuk dalam Operasi Mantap Brata VIII. Sebanyak 20 saksi hingga Jumat pekan silam telah diperiksa Kepolisian Daerah Metro Jaya dan Kepolisian Metro Jakarta Pusat. Mereka adalah warga masyarakat yang menyaksikan peristiwa itu, termasuk empat staf MA. Di lokasi kejadian, polisi menemukan lima selongsong peluru. Kepolisian Sektor Kemayoran juga menemukan satu butir anak peluru berdiameter sembilan milimeter di rangka pintu kanan mobil korban. Hasil penyelidikan sementara Pusat Laboratorium dan Forensik Markas Besar Polri menyebutkan heat stamp peluru yang ditemukan itu bertuliskan PIN IX buatan PT Perindustrian Angkatan Darat (Pindad). Data yang ditandatangani Kepala Puslabfor Brigadir Jenderal Polisi Hamim Suryaamidjaya menyimpulkan, dari peluru yang ditemukan para pelaku menggunakan senjata api jenis Browning. Pistol buatan Belgia ini dirakit dari Fabrique Nationale (FN). Senjata itu diminati kalangan militer di seluruh dunia. Di Indonesia, hampir 90 persen kesatuan TNI menggunakan senjata ini. Maklum, senjata ini mudah digunakan dan gampang perawatannya. Tapi, sejauh ini, belum diketahui FN kaliber yang digunakan untuk membunuh Syafiuddin, 38 atau 45. Menurut dokter Mun`im Idris, berdasarkan luka-luka di tubuh korban, pelaku menggunakan senapan berkaliber besar. Menurut dia, peluru berukuran 9 mm umumnya digunakan para preman. "Tapi ini dilapisi sejenis logam untuk meningkatkan akurasi tembakan," kata Mun`im. Perihal keterlibatan anggota TNI mengingat senjata yang digunakan hanya dimiliki kalangan terbatas, Kepala Direktorat Reserse Polda Metro Komisaris Besar Adang Rochyana mengelak. "Saya tidak bisa melibatkan institusi tapi bahwa ada kelompok tertentu dimana di dalamnya mungkin ada anggota TNI, itu bisa saja," kata dia. Dari keterangan para saksi, diperkirakan tinggi badan kedua pelaku 150 dan 168 sentimeter. Wajah keduanya tak begitu jelas karena ditutup sapu tangan dan menggunakan topi. Kepala Dinas Penerangan Polda Metro Jaya Anton Bahrul Alam mengatakan seorang pelaku bertubuh pendek, berambut cepak dan memakai jaket hitam dengan wajah ditutup kain hitam pula. Polisi menduga kasus ini sebagai pembunuhan terencana. Pasalnya, kata Adang Rochyana, berdasarkan pemeriksaan di TKP, pelaku sudah mempelajari denah rumah dan jam kerja Syafiuddin. Pernyataan Adang ini didukung Kepala Kepolisian Sektor Metro Kemayoran Herry R Nahak yang menyebutkan dua pembunuh itu mengintai korban sejak meninggalkan rumahnya. Informasi dari saksi mata yang tinggal dekat kediaman korban menguatkan dugaan itu. Badrun, seorang buruh bangunan mengungkapkan lima hari sebelum hakim agung itu dibunuh, seorang pria yang mengendarai sepeda balap selalu duduk di pos Hansip RT 18/07, Kelurahan Sunter Jaya. Pria dewasa yang mengenakan jaket itu kerap nongkrong di pos setiap pagi pukul 05.30 WIB selama lima hari berturut-turut. Pos hansip itu berjarak 25 meter dari rumah Syafiuddin. Semula Badrun mengira pria bertinggi badan 160 cm itu itu akan berangkat kerja, tapi beristirahat dulu di pos hansip. Badrun menduga pria ini dengan dua penembak Syafiuddin bekerja sama. Polda Metro Jaya merasa yakin, kemungkinan besar Syafiuddin memang menjadi target pembunuhan karena jabatan atau fungsinya sebagai hakim agung muda. Bahkan Kadispen Polda Anton Bahrul Alam menyatakan tidak tertutup kemungkinan mereka adalah pembunuh bayaran. Kasatserse Adang menduga, pelaku penembakan berasal dari kelompok tertentu yang merasa dirugikan atas keputusan Syafiuddin. Karena belum terindikasi masalah keluarga, penyelidikannya diarahkan pada profesi korban. "Korban adalah hakim agung yang menangani kasus tukar guling Goro," kata Adang. Menurut Adang, semua orang menyadari kemungkinan besar pembunuhan almarhum berkaitan erat dengan kasus-kasus yang ditanganinya. Saat ini polisi tengah meneliti dan mencari kemungkinan-kemungkinan kasus yang bisa mengarah kepada pelaku. Namun, belum terpikir untuk memanggil para tokoh atau orang yang kasusnya telah atau sedang ditangani korban. "Yang jelas kasus ini bukan kasus perampokan dengan maksud mengambil harta korban, tetapi perampokan dengan target mengambil nyawa seseorang," kata dia. Istri korban pun tak menampik peristiwa ini berkaitan dengan perkara yang ditangani suaminya. Pembunuhan Syafiuddin ini, mau tak mau, membuat banyak hakim agung terguncang. Seakan-akan, para pelaku ingin menyampaikan pesan khusus pada para penegak hukum: jangan pernah menjadi pahlawan. Para pelakunya berharap bisa membuat ciut nyali para hakim dalam memimpin dan memutuskan sebuah kasus. Apalagi, saat ini MA tengah menangani kasus-kasus yang menjadi perhatian masyarakat seperti perkara gugatan pembubaran Partai Golkar, judicial review keputusan Presiden Abdurrahman Wahid tentang Polri, kasus pajak yang menyangkut Tommy Soeharto, dan lain-lain. Hakim Agung Artidjo Alkotsar mengakui pembunuhan itu sempat membuat ciut koleganya. Tapi, perasaan takut itu tak lama [baca:Hakim Agung Tak Terpengaruh Kasus Penembakan]. "Para hakim agung kini bertekad untuk terus maju dan tetap tegar," kata Artidjo. Berkaitan dengan itu, Polda Metro Jaya melakukan pengawalan secara rahasia pada dua hakim agung yang sedang menangani kasus-kasus besar. baca:. Tapi Adang tak bersedia menyebutkan nama dua hakim agung itu. Ide untuk mempersenjatai hakim juga sempat mencuat. Bahkan sejumlah hakim yang setiap hari bertugas di Pengadilan Negeri Tangerang Provinsi Banten meminta senjata api kepada MA. Alasannya, keselamatan jiwa mereka terancam dalam menyidangkan perkara narkotika dan obat-obatan terlarang serta kasus kejahatan politik. Akhir-akhir ini para hakim di Tangerang kerap menyidangkan perkara penyelundupan narkoba jalur antarnegara dengan skala internasional melalui Bandara Sukarno-Hatta. Menanggapi pembunuhan terhadap hakim agung, empat organisasi non pemerintah berpendapat peristiwa itu adalah bentuk teror terhadap proses penegakan hukum sekaligus ancaman terhadap supremasi hukum. Mereka antara lain terdiri dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Indonesia Corruption Watch, dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Menurut Ketua Kontras Munarwan, hambatan penegakan hukum di Tanah Air bukan lagi cara manipulatif di pengadilan, tapi sudah masuk ke era baru hukum rimba yang tak beradab, mengandalkan senjata, kekuatan, dan kekerasan. Menurut dia, peristiwa itu adalah proklamasi munculnya kejahatan terorganisir di Indonesia. Sejumlah kalangan mengkhawatirkan tewasnya Syafiuddin bisa melemahkan upaya lembaga yudikatif melakukan reformasi hukum. Tapi Ketua MA Bagir menepis kemungkinan itu. Menurut dia, siapa pun yang membunuh Syafiuddin telah keliru. "Keliru kalau mengancam kami. Kami akan jalan terus menegakkan hukum," Bagir menegaskan. Hakim Agung Artidjo Alkostar berpendapat peristiwa itu tak akan menyurutkan tekad jajaran hakim. "Peristiwa ini malah menjadi cambuk bagi hakim untuk tetap teguh, karena semua ini adalah untuk kepentingan masyarakat," ujar Artidjo.(Hot)

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya