Liputan6.com, Jakarta Sunat atau khitan perempuan yang ramai diperdebatkan kembali sejak pencabutan Permenkes No 1636/2010 beberapa waktu lalu ternyata telah lama dilarang oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sejak 1997.
Menurut WHO, sunat perempuan atau Female genital mutilation (FGM) meliputi prosedur yang menyebabkan cedera pada organ genital dan tidak memiliki manfaat kesehatan sama sekali. Justru WHO menerangkan, prosedur ini dapat menyebabkan pendarahan parah, masalah buang air kecil, kista, infeksi, infertilitas serta komplikasi saat melahirkan dan peningkatan risiko kematian bayi yang baru lahir.
Advertisement
Seperti dikutip laman WHO, Rabu (26/2/2014), lebih dari 125 juta anak perempuan saat ini telah mengalami sunat di 29 negara khususnya di Afrika dan Timur Tengah. Prosedur ini kebanyakan dilakukan antara bayi dan remaja perempuan dibawah 16 tahun.
"FGM adalah pelanggaran hak asasi perempuan karena melibatkan pengangkatan sebagian atau seluruh alat kelamin perempuan sehingga mengakibatkan cedera pada organ genital perempuan," tulis WHO.
WHO juga menuliskan, praktek ini sebagian besar dilakukan oleh penyunatan tradisional meskipun lebih dari 18 persennya dilakukan oleh penyedia layanan kesehatan.
FGM juga dinilai merupakan bentuk ekstrem dari diskriminasi terhadap perempuan. Dan juga melanggar hak-hak seseorang untuk kesehatan. Sejauh ini ada 4 klasifikasi FGM, yaitu:
1. Clitoridotomy
Klitoridektomi adalah pengangkatan sebagian atau seluruh bagian klitoris. Prosedur ini jarang terjadi karena khitan perempuan hanya memotong preputium atau lipatan kulit di sekitar klitoris.
Tipe ini banyak dilakukan di Negara-negara bagian Afrika seperti Afrika Timur, Mesir, Sudan, dan Peninsula.
2. Eksisi
Eksisi merupakan pemotongan sebagian atau seluruh bagian genital.
3. Infibulasi
Infibulasi mencakup pemotongan seluruh bagian klitoris, labia minora, dan sebagian labia mayora dan penjahitan untuk menyempitkan mulut vulva. Penyempitan vulva dilakukan dengan hanya menyisakan lubang sebesar diameter pensil, agar darah saat menstruasi dan urine tetap bisa keluar.
4. Lainnya
Semua prosedur berbahaya ke alat kelamin perempuan untuk tujuan non-medis misalnya menusuk, menusuk, menggores dan sebagainya.
Komplikasi akibat khitan perempuan
Saking tidak adanya manfaat kesehatan setelah sunat perempuan, WHO menyebutkan bahwa FGM dapat menyebabkan komplikasi ringan hingga berat.
"Komplikasi ringan meliputi rusaknya jaringan genital dan mengganggu fungsi alami perempuan termasuk rasa sakit parah, shock, pendarahan, tetanus atau sepsis (infeksi bakteri), retensi urin, luka terbuka di daerah genital dan cedera pada jaringan genital dekatnya," tulis WHO.
Sedangkan WHO menjelaskan sebagai konsekuensi jangka panjang, sunat perempuan bisa menyebabkan:
1. Infeksi saluran kemih
2. Kista
3. Infertilitas
4. Peningkatan risiko komplikasi persalinan dan kematian bayi baru lahir
Kontroversi Budaya
Kontroversi budaya, agama dan sosial
Bukan hanya di Indonesia, sunat perempuan juga merupakan campuran faktor budaya, agama dan sosial dalam keluarga dan masyarakat.
"FGM seringkali dianggap sebagai bagian penting dari kepercayaan masyarakat dalam membesarkan seorang gadis dan cara untuk mempersiapkan dirinya menjelang dewasa dan menikah. FGM juga termotivasi oleh keyakinan bahwa prosedur ini dianggap sebagai bukti keperawanan pranikah dan kesetiaan perkawinan. Bahkan pada beberapa kasus, FGM dipercaya bisa mengurangi libido wanita agar ia tidak melakukan penyimpangan norma (seks bebas) karena lubang vagina menyempit," ujar WHO.
Selain itu, FGM juga dikaitkan dengan budaya feminitas dan kerendahan hati yang menyebutkan bahwa anak perempuan itu bersih dan indah setelah pengangkatan organ intimnya.
Meskipun tidak ada agama yang jelas mengharuskan FGM, namun banyak masyarakat percaya bahwa praktek ini karena dukungan agama. Sedangkan beberapa pemimpin agama menganggap hal tersebut tidak relevan dengan agama.
Advertisement
WHO Sebut Berbahaya
WHO Mulai Menyebut FGM berbahaya sejak 1997
Sejak 1997, berbagai upaya telah dilakukan untuk melawan FGM. Baik melalui penelitian, kampanye masyarakat dan kebijakan publik.
Pada 2008, WHO bersama dengan 9 mitra PBB lainnya akhirnya mengeluarkan pernyataan baru tentang pelarangan FGM. Sejak itu, WHO mengumpulkan bukti bahwa FGM dapat merusak kesehatan anak perempuan.
Pada 2010, WHO menerbitkan Global strategy to stop health care providers from performing female genital mutilation (Strategi global untuk menghentikan sunat perempuan) dengan bekerja sama dengan badan-badan PBB lainnya serta organisasi internasional.
(Fit/Mel)