Presiden Venezuela Klaim 50 Orang Tewas Akibat Rusuh

Presiden Nicolas Maduro menyalahkan pihak oposisi atas kekacauan yang terjadi dan jatuhnya korban jiwa. Tapi, datanya kok beda?

oleh Liputan6 diperbarui 27 Feb 2014, 17:24 WIB

Liputan6.com, Caracas Setelah Ukraina di benua Eropa, Thailand di Asia, Mesir di Afrika, kini giliran Venezuela di Amerika Selatan yang dilanda kisruh ekonomi dan politik. Situasi di negara sosialis itu tengah memanas sejak kerusuhan pecah pada awal bulan Februari 2014 lalu. Korban pun berjatuhan, mulai luka ringan hingga meninggal dunia.

Presiden Venezuela Nicolas Maduro pun menyalahkan pihak oposisi atas kekacauan yang terjadi dan jatuhnya korban jiwa. Presiden berusia 51 tahun itu di hadapan para pendukungnya yang berkumpul di depan Istana Negara, dengan tegas mengatakan, korban tewas akibat tindak kekerasan yang dilakukan para demonstran antipemerintah berjumlah lebih dari 50 jiwa.

"Lebih dari 50 nyawa melayang akibat pemblokiran jalan dan pendirian barikade oleh demonstran oposisi," ucap Presiden Nicolas seperti dimuat di BBC, Kamis (27/2/2014).

"Kemarin, seorang nenek berusia 84 tahun meninggal dunia akibat serangan jantung setelah dia dan keluarganya tertahan di dalam mobil selama lebih dari 3 jam karena ada pemblokiran jalan," jelas pria yang pernah menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Venezuela pada tahun 2006 itu.

Angka kematian yang disebutkan orang nomor 1 di Venezuela dalam orasinya itu sangat jauh berbeda dengan data yang dimiliki oleh Jaksa Agung Venezuela Luisa Ortega. "13 Orang tewas dalam protes yang berujung kekerasan itu," kata Luisa pada hari Senin, 24 Februari lalu.

Entah dari mana Presiden Nicolas mendapat data kematian tersebut. Dia tidak bersedia memberi keterangan lebih lanjut mengenai perkiraannya yang sangat jauh dari kenyataan itu.

Selain 13 korban tewas, seperti dikutip Liputan6.com dari Reuters, lebih dari 150 orang dilaporkan menderita luka-luka dan 45 pendemo ditahan oleh kepolisian Venezuela.

Menolak Berdialog

Melihat kekerasan yang terjadi selama lebih dari 2 pekan belakangan di Venezuela, Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon meminta pihak pemerintah dan oposisi untuk segera berunding mencari jalan keluar dari krisis yang mereka hadapi. Ban mengaku sedih atas jatuhnya korban tewas dan meminta agar hak asasi manusia di Venezuela dilindungi.

Hal yang sama juga disampaikan oleh pemimpin Vatikan, Paus Fransiskus. Paus berharap agar kekerasan dan permusuhan di Venezuela dapat segera berakhir.

Menanggapi desakan tersebut, Presiden Nicolas akhirnya membuat sebuah konferensi damai untuk mencari jalan keluar dari krisis yang tengah dihadapi Venezuela. Namun, pihak oposisi menolak hadir dan menganggap pertemuan itu sebagai sandiwara sang presiden belaka.

"Kami tidak akan menghadiri pertemuan yang penuh kepura-puraan itu, pertemuan yang akan berakhir dengan penghinaan terhadap pihak kami," tegas MUD -- koalisi partai oposisi Venezuela -- dalam surat yang mereka tujukan kepada Wakil Preseiden Jorge Arreaza.

Pemimpin oposisi Henrique Capriles juga menolak hadir dalam pertemuan itu.

"Siapa yang lebih cocok berdialog? Saya rasa, (Presiden) Nicolas. Pemerintah sedang menggerogoti diri mereka sendiri. Pemerintahan ini akan segera hancur," ujar Henrique.

AS Siap Akhiri Hubungan 'Panas'

Mengikuti sang guru dan pendahulunya, Hugo Chaves, Presiden Nicolas menganggap AS sebagai biang kerok atas segala permasalahan yang terjadi di negaranya. Hubungan kurang baik kedua negara bertambah panas saat pada tanggal 15 Februari lalu, Presiden Nicolas mengusir 3 diplomat AS karena diduga terlibat dengan sejumlah kelompok demonstran.

AS pun tak mau kalah. 3 Diplomat Venezuela pun ditendang keluar dari negeri Paman Sam.

Meski demikian, Menteri Luar Negeri AS John Kerry mengaku AS siap mengubah sikap 'keras' mereka terhadap Venezuela. "Kami siap mengakhiri permusuhan ini, namun kami tidak akan tinggal diam jika disalahkan atas sesuatu hal yang tidak kami lakukan," kata pengganti Hillary Clinton itu.

Kerusuhan yang terjadi di Venezuela dimulai 2 minggu lalu dengan turunnya para mahasiswa ke jalan-jalan di Negara Bagian Tachira dan Merida, bagian barat Venezuela. Para mahasiswa menuntut pemerintah untuk meningkatan keamanan negara. Selain itu, mereka juga mengeluhkan tingginya inflasi dan kurangnya bahan makanan pokok. Kerusuhan itu kemudian menyebar ke Ibukota Caracas dan kota-kota lainnya.

Saat ini, protes masih terjadi di Ibukota Caracas meski masa yang turun ke jalan sudah berkurang. (Ega Rosalina)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya