`Meraba Area Gelap` RUU KUHP

Kontroversi pembahasan Rancangan Undang-Undang KUHP dan KUHAP kembali mencuat.

oleh Oscar Ferri diperbarui 03 Mar 2014, 00:05 WIB

Liputan6.com, Jakarta - Kontroversi pembahasan Rancangan Undang-Undang KUHP dan KUHAP kembali mencuat. Sejumlah pihak mengecam pemerintah dan DPR yang getol melanjutkan pembahasan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana itu.

Salah satu yang garang menentang adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto bahkan menyebut pembahasan RUU ini sarat kepentingan apabila dibahas secara eksklusif dan tidak bersifat elitis.

"Seluruh masyarakat yang kelak menjadi penerima dampak dari kejahatan korupsi. Kalau begitu, maka selamat datang kegelapan," ujar Bambang dalam pesan singkatnya di Jakarta, Senin 24 Februari 2014.

Ya, dunia kegelapan jika pembahasan RUU ini hanya melibatkan pihak stakeholder, tidak melibatkan lembaga terkait, seperti Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Komisi Kepolisian Nasional, dan Komisi Kejaksaan.

"Pembuatan revisi KUHAP dan KUHP itu harus selalu berpihak pada kepentingan rakyat, keadilan, dan kebenaran. Harus dilakukan dengan melibatkan seluas-luasnya kalangan publik," tutur dia. Pembahasan RUU ini dinilai terburu-buru.

Tak hanya KPK, Polri pun sependapat. Kapolri Jenderal Pol Sutarman mengatakan pembahasan revisi RUU KUHP dan KUHAP harus melibatkan penegak hukum. "Karena isinya menyangkut penegak hukum maka penegak hukum harus diajak," kata dia.

Jika tidak, undang-undang yang dihasilkan akan sulit diakomodir oleh penegak hukum terkait. "Polri juga harus memberi masukan, maka ketika diterapkan nantinya dapat mengakomodir tindakan hukum yang dilakukan," tutur Sutarman.

KPK Dilemahkan?

Ketua KPK Abraham Samad sampai-sampai mengirim surat ke Presiden SBY. Dia meminta pembahasan RUU KUHP dan KUHAP ditunda. Ada 4 poin surat Abraham itu.

Pertama, dalam RUU KUHP sifat kejahatan luar biasa kasus korupsi menjadi tereliminir ke dalam buku ke-2. Demikian pula kasus-kasus narkotika, terorisme, dan lainnya.

Sehingga lembaga yang menangani kasus-kasus itu, seperti KPK, BNN, dan PPATK, tidak relevan lagi. "Lembaga ini menjadi bubar apabila UU yang sifatnya luar biasa masuk dalam buku 2," papar Samad.

Ke-2, sejumlah poin dalam RUU itu menghambat pemberantasan korupsi. Misalnya kewenangan penyelidikan menjadi hilang. Selain itu, beberapa delik aturan, misalnya penyuapan dan gratifikasi di UU Korupsi tidak masuk lagi dalam delik korupsi, melainkan masuk ke dalam delik yang berhubungan dengan jabatan.

Ke tiga, mengenai kewenangan penyitaan. Dalam RUU tersebut ditegaskan kewenangan penyitaan harus dengan izin hakim pendahuluan dan izin pengadilan.

Keempat, waktu penahanan yang diberikan dalam tahapan penyidikan yaitu 5 hari. Maka kejahatan white collar (kerah putih) sulit dirampungkan pemberkasannya hingga ke penuntutan. "Ini kalau tetap diteruskan, akan menghambat pemberantasan korupsi," tegas Samad.

Oleh karena itu, Samad memiliki 4 rekomendasi. Pertama, menunda pembahasan kedua RUU tersebut. "Ke dua, agar delik korupsi dan delik luar biasa lainnya tetap diatur dengan UU tersendiri agar lex specialis-nya kelihatan," ujar dia.

Ke tiga, RUU KUHAP sebagai hukum pidana formil sebaiknya dibahas setelah RUU KUHP sebagai hukum materil. "Ke empat, pemberlakukan 2 RUU tersebut menurut KPK sebaiknya diberikan masa transisi 3 tahun sebagai masa transisi RUU Tindak Pidana Korupsi dan UU lainnya yang terkait," tandas Samad.

Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin mengatakan pembahasan RUU ini tidak bertujuan memangkas kewenangan KPK. Sebab, RUU KUHP dan KUHAP sudah ada sebelum KPK berdiri.

"Dengan adanya perkembangan protes dari KPK, saya ingin flashback, RUU ini sudah dilakukan rancangannya sudah disusun 12 tahun. Jauh sebelum KPK hadir. KUHAP bahkan sudah 40 tahun," ujar Amir.

"Yang sangat melukai perasaan adalah pembahasan ini kesannya karena ada sponsor dari koruptor. Waduh, kalau seandainya itu benar, tak usah lagi melalui proses hukum, ada data saja, saya akan meletakkan jabatan hari ini juga. Tak nunggu besok," tegas Amir.

Sementara, Koordinator Tim Perumus KUHP Muladi malah menantang Pimpinan KPK untuk berdebat soal materi RUU KUHP yang dianggap mengebiri kewenangan KPK. "Kami harap mereka jangan hanya berargumen di koran-koran. Kalau ada aspirasi silakan disampaikan," kata Muladi. KPK rupanya siap meladeni debat ini.

Mantan Gubernur Lemhanas itu membantah isu pelemahan KPK lewat RUU KUHP dan KUHAP ini. Dia juga yakin, tidak ada konspirasi antara DPR, Pemerintah, dan Tim Perumus guna memangkas kewenangan lembaga antikorupsi itu.

Dia meminta KPK tidak terlalu kebakaran jenggot mempersoalkan RUU ini. Sebab, pasal korupsi di KUHP hanya berjumlah 15 pasal dari keseluruhan 766 pasal di KUHP. "Saya yang ikut merumuskan Undang-Undang KPK dan tidak mungkin melemahkan KPK," ujar Muladi.

Muladi menjanjikan kewenangan lembaga-lembaga khusus seperti BNN, KPK, PPATK, dan soal terorisme tidak akan diutak-atik. "Karena korbannya mencakup banyak orang. KUHP tidak cuma mengurusi koruptor. Semua ada 36 bab. Asas keadilan restoratif tidak akan dipakai untuk tindak pidana korupsi," jelas Muladi.

`Area Gelap Lain`

Tak hanya soal korupsi, sejumlah poin juga disoal dalam RUU KUHP dan KUHAP itu. Mulai soal ‘kumpul kebo’, penghina presiden, santet, hingga pengurangan hukuman mati.

Pasal 483 dalam RUU KUHP mengancam pelaku zina dengan hukuman 5 tahun penjara. Sementara, pelaku kumpul kebo sebagaimana diatur dalam Pasal 485 RUU KUHP itu hanya diancam 1 tahun penjara. Yang disoal adalah, mengapa hukuman pelaku zina jauh lebih berat dari kumpul kebo.

Pasal 266 RUU KUHP mengatur masalah penghinaan presiden. Dalam RUU itu disebutkan hukuman bagi penghina presiden adalah 5 tahun. Dalam KUHP lama hukumannya hanya 1 tahun 4 bulan. Itu pun sudah dihapus MK pada 2006.

Pasal 293, ayat 1 RUU KUHP menyatakan setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, yang menyebabkan orang lain sakit atau mati dipenjara paling lama 5 tahun. Pasal ini dinilai kontroversi. Sebab, sulit membuktikan masalah supranatural di pengadilan.

Menkumham Amir Syamsuddin mengatakan masyarakat salah kaprah memaknai pasal itu. Dalam konteks ini, seseorang bisa dijerat dengan 'pasal santet' dengan menggunakan delik formil.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya