Liputan6.com, Jakarta: Lidah hukum kembali menjilat Dinasti Cendana. Setelah Tommy Soeharto dijatuhi hukuman penjara 18 bulan penjara, kali ini, istri cucu mantan Presiden Soeharto Ari sigit, Gusti Maya Ferianti Noor, yang diganjar hukuman delapan bulan. Maya juga didenda Rp 15 juta.
Demikian keputusan Majelis Hakim yang diketuai Sri Handoyo SH, dalam persidangan kasus penyalahgunaan psikotropika di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Kamis (12/10) siang. Kendati divonis delapan bulan, Maya akan menjalaninya selama lima bulan. Maklum, hukuman itu akan dipotong masa tahanan yang telah dijalaninya selama 3,5 bulan di Rutan Pondok Bambu.
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum Achjadi Sartono SH, menuntut hukuman penjara lima tahun dan denda Rp 20 juta buat Maya. Dalam berkas putusan, majelis hakim memaparkan keterlibatan Maya, sejak tertangkap tangan membawa 1,58 gram shabu-shabu pada 22 Juni 2000. Majelis hakim dalam keputusannya yang tertuang pada SK No. 376/PID.B/2000/PN.JKT.BAR menjelaskan bahwa Maya terbukti melanggar pasal 62 UU No. 5 Tahun 1997 tentang psikotropika.
Menurut hakim, yang memberatkan terdakwa adalah perbuatan terdakwa dilakukan saat masyarakat dan bangsa Indonesia sedang memerangi penyalahgunaan narkoba. Sedangkan hal yang meringankan, di antaranya terdakwa mengaku berterus terang atas kesalahannya dan menyesali perbuatannya. Selain itu, terdakwa belum pernah dihukum. Selain itu, psikotropika yang dibawa Maya relatif sedikit, yaitu 1,5 gram. Maya pun saat ini dianggap tengah berupaya menjauhi narkoba dan pernah berusaha menyembuhkanya, meski belum berhasil.
Maya sendiri terlihat tertunduk dan menangis ketika putusan itu dibacakan hakim. Ia tidak bersedia memberikan komentar atas keputusan hakim itu dan bergegas menuju ke mobil tahanan. Kuasa hukum Maya, Asfifuddin, mengatakan belum dapat memutuskan apakah akan mengajukan banding atau tidak atas keputusan hakim tersebut. Rencananya, pihak kuasa hukum akan membicarakan hal itu dengan kliennya terlebih dahulu.
Suami Maya, Ari Sigit, yang datang sepuluh menit setelah mobil tahanan yang membawa istrinya meninggalkan PN Jakarta Barat menuju Rutan Pondok Bambu, menilai bahwa keputusan tersebut politis dan terlalu berat.(RSB/Syaiful Halim dan Irfan Effendi)
Demikian keputusan Majelis Hakim yang diketuai Sri Handoyo SH, dalam persidangan kasus penyalahgunaan psikotropika di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Kamis (12/10) siang. Kendati divonis delapan bulan, Maya akan menjalaninya selama lima bulan. Maklum, hukuman itu akan dipotong masa tahanan yang telah dijalaninya selama 3,5 bulan di Rutan Pondok Bambu.
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum Achjadi Sartono SH, menuntut hukuman penjara lima tahun dan denda Rp 20 juta buat Maya. Dalam berkas putusan, majelis hakim memaparkan keterlibatan Maya, sejak tertangkap tangan membawa 1,58 gram shabu-shabu pada 22 Juni 2000. Majelis hakim dalam keputusannya yang tertuang pada SK No. 376/PID.B/2000/PN.JKT.BAR menjelaskan bahwa Maya terbukti melanggar pasal 62 UU No. 5 Tahun 1997 tentang psikotropika.
Menurut hakim, yang memberatkan terdakwa adalah perbuatan terdakwa dilakukan saat masyarakat dan bangsa Indonesia sedang memerangi penyalahgunaan narkoba. Sedangkan hal yang meringankan, di antaranya terdakwa mengaku berterus terang atas kesalahannya dan menyesali perbuatannya. Selain itu, terdakwa belum pernah dihukum. Selain itu, psikotropika yang dibawa Maya relatif sedikit, yaitu 1,5 gram. Maya pun saat ini dianggap tengah berupaya menjauhi narkoba dan pernah berusaha menyembuhkanya, meski belum berhasil.
Maya sendiri terlihat tertunduk dan menangis ketika putusan itu dibacakan hakim. Ia tidak bersedia memberikan komentar atas keputusan hakim itu dan bergegas menuju ke mobil tahanan. Kuasa hukum Maya, Asfifuddin, mengatakan belum dapat memutuskan apakah akan mengajukan banding atau tidak atas keputusan hakim tersebut. Rencananya, pihak kuasa hukum akan membicarakan hal itu dengan kliennya terlebih dahulu.
Suami Maya, Ari Sigit, yang datang sepuluh menit setelah mobil tahanan yang membawa istrinya meninggalkan PN Jakarta Barat menuju Rutan Pondok Bambu, menilai bahwa keputusan tersebut politis dan terlalu berat.(RSB/Syaiful Halim dan Irfan Effendi)