Negara Anggota WTO Kian Perkuat Benteng Pengamanan Perdagangan

WTO melaporkan pada 2013, terjadi peningkatan kebijakan perdagangan antara negara yang bersifat membatasi.

oleh Septian Deny diperbarui 07 Mar 2014, 17:13 WIB

Liputan6.com, Jakarta Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) melaporkan pada 2013, terjadi peningkatan kebijakan perdagangan antara negara yang bersifat membatasi atau memproteksi perdagangan dalam negeri masing-masing dari perdagangan global (kebijakan restriktif).

Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag) Bayu Krisnamurthi menuturkan pada tahun lalu, WTO mencatat ada sekitar 407 kebijakan restriktif baru dalam perdagangan internasional dari tahun sebelumnya yang hanya sebanyak 308 kebijakan.

"Kami baru menerima laporan dari laporan dari Trade Policy Review Body yang mengatakan bahwa 2013 terjadi peningkatan kebijakan perdagangan yang restriktif di dunia. WTO mencatat 407 kebijakan restriktif baru di dunia yang diterapkan oleh negara anggota WTO yang sekitar 130 negara," ujar dia di Kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta, Jumat (7/3/2014).

Dia mencontohkan, kebijakan restriktif yang diterapkan negara-negara anggota WTO ini seperti kebijakan soal bea masuk anti-dumping dan safeguard yang memang terus mengalami peningkatan.

Pada 2012, ada sebanyak 138 aturan soal kedua hal tersebut. Namun pada 2013, kedua aturan ini terinisiasi telah mencapai 217 kebijakan.

Namun selain kedua kebijakan tersebut, kebijakan restriktif yang paling menonjol terjadi peningkatan yaitu dalam bidang sanitari dan fitosanitari serta kebijakan soal technical barriers to trade (TBT).

"Jadi saat ini negara-negara itu cenderung lebih protektif pada perdagangan masing-masing. Ini memiliki kecenderungan untuk merisaukan bagi kita yang sedang mendorong ekspor ke negara mitra dagang kita," jelasnya.

Bayu menjelaskan, jika dilihat dalam nilai perdagangan secara dolar Amerika Serikat (AS), maka peningkatan kebijakan-kebijakan ini telah berpengaruh terhadap nilai perdagang dunia, dengan besaran nilai perdagangan global yang berpotensi hilang sebesar US$ 240 miliar.

Menurut dia bahkan negara-negara yang menambah penerapan kebijakan lebih ketat bukan hanya negara berkembang saja, tetapi juga negara maju.

"Memang faktanya, negara di dunia semakin banyak yang menerapkan kebijakan restriktif ini, tidak hanya negara seperti Indonesia dan Brasil, negara yang champions dalam bidang perdagangan bebas seperti Amerika Serikat pun menerapkan hal yang sama. Jadi ini adalah situasi yang tidak mudah untuk dihadapi," katanya.

Dalam laporan WTO juga menyatakan posisi Indonesia bukan sebagai sebagai negara yang paling sedikit atau yang paling banyak melakukan penerapan kebijakan ini.

"Jadi kalau banyak tuduhan yang menyebutkan bahwa kebijakan Indonesia itu restriktif, ternyata tidak. Misalnya pada 2013 Indonesia tidak menerapkan inisisasi investigasi anti-dumping baru, dibanding 2012, kita menerapkan 7 inisiatif. Sedangkan untuk safeguard, pada 2012 dan 2013 kita menerapkan 4 inisiatif," lanjutnya.

Meski demikian, produk-produk asal Indonesia turut terkena dampak dari banyaknya penerapan kebijakan restriktif ini seperti produk biodiesel, fetialkohol, MSG, sepeda, kertas dan rokok yang terhalang untuk masuk ke negara lain.

"Gangguan yang kita terima karena mereka menuduh kita unfair untuk dumping udang. Tapi kita baru menang soal TBT untuk rokok kita di AS. Tapi kita belum hitung berapa kerugian perdagangan kita akibat hal ini," tuturnya.

Dengan makin banyaknya kebijakan restriktif yang diterapkan berbagai negara, pemerintah Indonesia harus berhati-hati dalam menyikapi hal ini.

Menurut dia, jika biasanya bila ekspor produk sebuah negara mendapat halangan dari negara lain, maka negara pengekspor akan membalas dendam terhadap produk dari negara lain tersebut. Namun jika dibiarkan terus menerus seperti itu, maka perdagangan global menjadi semakin tidak sehat.

"Kalau sering terjadi (balas membalas), ini nantinya akan terjadi macet perdagangan dunia, sedangkan sumber pendapatan dunia itu terbesar dari perdagnagan. Ini akan menciptakan sebuah suasana yang  anti perdagangan. Ini harus dibahas dengan negara-negara WTO, agar tidak terjadi spiral perdagangan," tandas Bayu.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya