Liputan6.com, Jakarta - Tim Ahli Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada (UGM) menyatakan, perayaan 48 tahun Surat Perintah 11 Maret atau yang lebih dikenal Supersemar pada 1966 lalu perlu ditandai dengan dikuatkan Pancasila sebagai jati diri bangsa.
"Ini bukan sejarah saja. Memang, Supersemar awalnya adalah sejarah, tetapi untuk lebih detailnya adalah merupakan sebuah awal ketahanan nasional yang meliputi ideologi bangsa, sosial dan bangsa dalam Pancasila," kata dosen sejarah pergerakan UGM Slamet Sutrisno dalam diskusi publik 'Kembalikan Pancasila Sebagai Jatidiri Bangsa' di Kuningan, Jakarta, Selasa (11/3/2014).
Menurut Slamet, Supersemar bisa dilihat sebagai kenyataan jelas sebagai Dwitunggal Soekarno-Soeharto, yang tercatat di dalam sejarah kemerdekaan RI. Supersemar juga merupakan sebuah kepercayaan Soekarno untuk memberikan mandat kepada Soeharto.
"Ini kenyataan konkret Dwitunggal Soekarno-Soeharto. Ini memberikan gambaran seorang pemimpin di dalam sejarah bangsa harus mempunyai pemikiran valid dalam menentukan kepercayaan dan kewenangan kepada orang lain," pungkas Slamet.
Supersemar adalah surat perintah yang ditandatangani Presiden Soekarno pada 11 Maret 1966. Surat ini berisi perintah yang menginstruksikan Mayor Jenderal Soeharto selaku Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengatasi situasi keamanan yang buruk pada saat itu.
Supersemar ini adalah versi yang dikeluarkan dari Markas Besar Angkatan Darat (AD) yang juga tercatat dalam buku-buku sejarah. Sebagian kalangan sejarawan Indonesia mengatakan, terdapat berbagai versi Supersemar, antara Supersemar yang ditulis Presiden Soekarno di Istana Bogor dengan Supersemar versi Angkatan Darat. (Shinta Sinaga)
Baca juga:
Advertisement
Selfie Sudah Ada Sejak Tahun 1800-an
Mengenal Budaya Sumatra Utara di Medan Heritage
Jalan-jalan ke Museum Balanga Kalimantan Tengah