Berbagai Macam Kecurangan Pemilu Versi Mahfud MD

Salah satu modus yang paling sering ditemuinya adalah jual-beli suara.

oleh Silvanus Alvin diperbarui 13 Mar 2014, 12:34 WIB
(Antara Foto/Septianda Perdana)

Liputan6.com, Jakarta - Mantan Ketua Mahkamah Konsitutsi (MK) Mahfud MD mencatat beberapa kecurangan yang kerap terjadi selama Pemilu berlangsung. Salah satu modus yang paling sering ditemuinya adalah jual-beli suara.

"Saya lihat selama pimpin MK ada potensi kecurangan, terjadi dalam berbagai bentuk. Bentuknya seperti ini, jual-beli suara," jelas Mahfud saat berbicara dalam forum diskusi  Soegeng Sarjadi Syndicate di Four Season Hotel, Jakarta, Kamis (13/3/2014).

Paling sering, lanjut Mahfud, kecurangan dilakukan para caleg yang bekerja sama dengan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Selain itu, Mahfud juga melihat ada pula orang yang yakin menang kemudian menjual kursinya ke caleg lain.

"Lalu ada fenomena, untuk Pilkada di Bangka Belitung. KPU kerja sama dengan calon yang mau menang. Bupati incumbent diberi pemeriksaan kesehatan yang tak mungkin. Dia ada penyakit, jarak pandang bermasalah, syarat kesehatan seharusnya diperiksa dokter setempat tapi malah dikirim ke RSPAD. Ditentukan syarat tak mungkin dipenuhi," beber Mahfud.

"Lalu ada di Sulawesi Utara, ada calon yang menang. KPU itu ingin calon yang mau menang kalah, lalu dibuat calon independen. Dukungan calon itu meminjam fotokopi KTP di suatu bank."

Saat menjadi Ketua MK, Mahfud pernah menggagalkan puluhan caleg bermasalah, yang melakukan kecurangan demi mendapat jabatan. "Pada 2009, dari hasil Pemilu yang ditetapkan KPU ada 72 kursi yang dibatalkan MK, di pusat 12 kursi karena kecurangan dan kesalahan hitung. Lalu tingkat DPRD ada 60 orang yang sudah terpilih tapi dibatalkan," jelas dia.

Meski begitu, berdasarkan catatan Mahfud saat mengikuti Pemilu atau menyidangkan kasus sengketa Pemilu, sudah ada kemajuan, baik dari segi instrumen aturan maupun lembaga yang disediakan. Misalnya, saat ini penyelenggara Pemilu diwadahi oleh KPU.

"Berbeda dengan Orde Baru adanya LPU yang dikendalikan pemerintah dan keputusannya dianggap mutlak benar. Sekarang tak bisa lembaga dikuasai pemerintah atau partai. Pengawasan pada KPU sendiri begitu ketat, sehingga ini baru dibandingkan masa lalu," tandas Mahfud. (Anri Syaiful)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya