Creative Writing: Tiga Kalimat itu Luar Biasa

Pagi yang berbeda dari biasanya, saya berangkat dengan semangat menjalankan suatu kegiatan yang menambah wawasan mengenai penulisan.

oleh Yulia Lisnawati diperbarui 14 Mar 2014, 10:47 WIB
Pagi yang berbeda dari biasanya, saya berangkat dengan semangat menjalankan suatu kegiatan yang menambah wawasan mengenai penulisan.

Citizen6, Depok Pagi yang berbeda dari biasanya, saya berangkat dengan semangat menjalankan suatu kegiatan yang menambah wawasan mengenai penulisan. Acara seminar “Creative Writting Citizen 6 – Artikel yang menembus Era Media 2.0,” di Student  Center Fakultas Ekonomi UI hari Kamis tanggal 13 Maret 2014, benar – benar telah menjadi suatu pembuka  bagi saya dalam dunia jurnalistik. Jika tidak, tentu saja tulisan ini tidak akan pernah saya tulis.

Setiap pembicara dalam kegiatan seminar tersebut memiliki satu kalimat yang benar – benar membuat saya tersentuh. Bukan tersentuh dalam arti sedih, tapi tersentuh dalam arti memberikan dorongan dan memberi sudut pandang baru.

Pertama yaitu penjelasan dari Pak Karmin, setelah menjelaskan tentang teknik – teknik wawancara dan sebagainya, ada satu slide yang membuat saya berpikir, “Apa yang tampaknya umum, bagaimanapun tidak begitu umum begitu pula sebaliknya.” Slide tersebut memberikan sudut pandang yang membuat saya berpikir secara filosofis. 

Jadi kejadian sederhana bisa menjadi sesuatu yang bernilai, begitu pula kejadian luar biasa bisa menjadi biasa saja dengan jurnalistik. Dan tulisan yang ideal adalah yang memiliki kedua sudut pandang tersebut. Sayangnya, ketika akan dijelaskan kembali sudut pandang yang lain waktunya sudah habis.

Lalu Maggie Tiojakin, penulis novel “Selama Kita Tersesat di Luar Angkasa” menjawab salah satu pertanyaan peserta mengenai replikasi gaya penulisan orang lain, beliau menjawab “Selama kita mereplikasi, itulah proses mencari gaya penulisan kita sendiri.”  Terlihat sederhana, tapi memiliki pengertian yang sangat dalam. Karena kalimat tersebut bisa dikaitkan bahkan di luar dari dunia jurnalistik itu sendiri.

“Tugas penulis adalah membaca, baru menulis,” tambahnya. “Karena dengan membaca kita akan menemukan gaya penulisan yang kita suka, lalu kita replikasi dengan gaya penulisan kita sendiri, pada akhirnya nanti kita akan memiliki gaya penulisan kita sendiri,” tutupnya. Saya sangat setuju pada pernyataan tersebut. Karena pada dasarnya manusia tidak ada yang sempurna, tetapi manusia akan selalu berproses untuk menjadi lebih baik.

Terakhir yaitu penjelasan mengenai “jurnalistik yang lain” dari Iwan Triono, Wakil Pimpinan Redaksi Liputan6dotcom, beliau menyampaikan sesuatu yang mungkin bukan hanya saya yang tergerak hatinya, tapi banyak peserta lainnya, yaitu “Semua Orang Bisa Jadi Jurnalis.” Andalkan momen, konten, dan yang terpenting yaitu doa. Dengan memenuhi pikiran positif “saya bisa” maka pasti bisa. Dan awal dari semua perjuangan pastilah pahit, apapun profesinya. Maka jalani saja.

Setelah selesai, setelah keluar dari acara seminar tersebut, saya naik motor sambil tersenyum memikirkan “Tiga Kalimat Luar Biasa” itu, terinspirasi penuh ide dan semangat baru, lalu menulis tulisan ini.

Penulis:

Rahasti Amirinda Widisesa

Baca Juga:

Di Era 2.0 Setiap Orang Adalah Jurnalis

Menu `Doktrin Fukuda` di Pesta Jepang untuk Dubes Yusron

Citizen6 adalah media publik untuk warga. Artikel di Citizen6 merupakan opini pribadi dan tidak boleh menyinggung SARA. Isi artikel menjadi tanggung jawab si penulisnya.

Anda juga bisa mengirimkan link postingan terbaru blog Anda atau artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas, kesehatan, keuangan, wisata, kuliner, gaya hidup, sosial media, dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya