Liputan6.com, Jakarta Sejak 2011, Negeri Tirai Bambu memang menganggap homoseksualitas sebagai penyakit atau menyebut orang yang menderitanya sebagai penyandang disabilitas. Hal ini membuat beberapa warga China penyuka sesama jenis akhirnya protes karena diwajibkan melakukan pengobatan yang mahal dan belum tentu sembuh.
Melansir laman Economist, Senin (17/3/2014), biaya terapi atau pengobatan orang dengan homoseksualitas mencakup konsultasi kepada psikolog dan pengobatan alternatif yang bisa memakan biaya hingga Rp 20 juta.
Advertisement
Seperti cerita salah satu warga China bapak Lin (nama samaran). Selama tiga bulan, ia harus melakukan terapi di Pusat Konseling Psikolog (Chuanwei Psychological Counselling Centre) di Shenzhen dan belum ada perubahan secara signifikan pada dirinya.
Terapi menghilangkan pikiran menyukai sesama jenis, lanjut Lin, termasuk suntikan dan penyiksaan menggunakan kejutan listrik. Cara inilah yang dianggap Lin sebagai penyiksaan mental.
"Saya mungkin orang yang kurang beruntung karena telah menghabiskan semua tabungan pada pengobatan dan mengalami kecemasan seumur hidup. Saya kini menderita insomnia, berat badan kurang dan rambut rontok. Tapi saya tetap gay," ungkapnya.
Belum lagi, pikiran semua orang tua yang menganggap bahwa orang yang homoseksualitas tidak berhak mendapat warisan. Seperti diungkapkan oleh akademisi, Zhang Beichuan dari Universitas Qingdao bahwa empat perlima dari pemuda gay di Cina akhirnya terpaksa menikahi wanita daripada membayar terapi hingga Rp 50 juta lebih.
"Homoseksualitas bukan penyakit. Saya dan tim kelompok telah mengirim 20 surat kepada biro kesehatan di sepuluh kota yang menyatakan, klinik perlu lisensi khusus untuk mengelola perawatan fisik seperti sengatan listrik," kata Mr Zhang.
Sebuah pernyataan di situs klinik yang mengurus orang dengan penyimpangan seksual mengatakan bahwa anak laki-laki yang lahir dalam keluarga yang ada perempuan cenderung menjadi gay. Disamping itu, Persatuan Psikiatri Amerika (The American Psychiatric Association) sebenarnya mencakup penurunan risiko depresi, kecemasan dan perilaku merusak diri sendiri serta menghilangkan trauma.