Liputan6.com, Jakarta - Gaya berpakaian pengusaha Bob Sadino yang memakai celana pendek di setiap kesempatan baik formal maupun non formal sudah menjadi ciri khasnya. Nah, gaya berpakaian sembarangan ini sedang jadi penelitian. Benarkah orang yang sudah sangat mapan cenderung tidak peduli dengan aturan sosial dalam berbusana.
Advertisement
“Saltum” singkatan dari “Salah Kostum” adalah sebuah predikat yang tidak ingin diterima oleh masyarakat pada umumnya. Datang ke sebuah pesta kebun di pagi hari dengan menggunakan ball gown dan tata rias wajah malam hari yang berat tentu akan membuat Anda menjadi pusat perhatian.
Namun menjadi pusat perhatian dengan tatapan-tatapan yang heran kepada diri Anda jelas bukan pengalaman yang menyenangkan. Sebagian orang mungkin akan tersenyum ketika melihat Anda. Dan bisa jadi ketika Anda berlalu orang tersebut dan teman-temannya bisa langsung terbahak-bahak.
Dress code, table manner dan etiket-etiket lainnya adalah produk peradaban manusia yang diciptakan untuk memenuhi fungsi-fungsi efisiensi dan penghargaan dalam bertindak dan bersosialisasi. Akan tetapi, secara alamiah maupun melalui proses pembelajaran terdapat orang-orang yang memang anti-mainstream atau tidak mengikuti aturan-aturan sosial tertentu.
Di beberapa pusat perbelanjaan elit di Jakarta bukan pemandangan yang mengeherankan bila terlihat banyak orang berdandan maksimal dengan menggunakan boots, baju yang trendi dan rambut yang di-blow. Namun bagaimana dengan kehadiran pengunjung yang berdandan dengan sangat cuek dengan hanya menggunakan kaos oblong, celana pendek dan sandal jepit?
Menurut studi terbaru dari Universitas Harvard yang dipublikasikan di The Wall Strett Journal, orang-orang dengan gaya busana yang tak sesuai dengan norma sosial yang umum berlaku justru dipandang orang-orang sekitarnya dengan citra yang lebih tinggi. “Tampil berbeda pada situasi-situasi tertentu, misalnya menggunakan celana olahraga di butik mewah, berefek pada terangkatnya citra diri orang tersebut.” Demikian kutipan dari The Wall Street Journal sebagaimana dilansir dari halaman style.com Rabu (19/3/14).
Tampil dengan pakaian biasa pada sebuah tempat yang mewah memiliki efek yang sama dengan tampil mewah pada tempat yang biasa. Ketika Anda tidak berpakaian sebagaimana yang dinormakan sosial pada tempat-tempat mewah, orang-orang justru menduga bahwa diri Anda adalah orang yang sudah terlalu kaya dan tidak peduli atau tidak merasa selevel dengan “kompetisi sosial” untuk menunjukkan status sosial dan pencapaian materi.
Studi ini tentu bukan tanpa celah untuk dikritisi. Bagaimana orang-orang menilai penampilan sesamanya ditentukan oleh banyak faktor yang terjalin secara kompleks. Pada sebuah kesempatan, citra seseorang memang dapat terangkat saat dirinya tampil dengan cueknya di sebuah butik mewah dan kemudian pergi dari butik tersebut dengan tas belanjaan berisi item fashion keluaran terbaru.
Akan tetapi efek yang berbeda dapat menimpa seseorang pada kesempatan lain di tengah masyarakat yang lain. Sebagaimana dikutip dari berita huffingtonpost.com Rabu (19/3/14), pembawa acara ternama Oprah Winfrey pernah tidak diperbolehkan untuk melihat sebuah tas di sebuah butik di Swiss. Pegawai butik mengtakan kepada Oprah “Tidak, Anda tidak akan mau melihat tas tersebut. Anda pasti hanya mau melihat tas yang ini karena harga tas yang satunya pasti telalu mahal untuk Anda. Anda tidak akan mampu membelinya”.
Insiden yang terjadi pada September 2013 ini berakhir dengan permintaan maaf dari dinas pariwisata Swiss. Tas yang ingin dibeli Oprah pada saat itu adalah tas Tom Ford berkulit buaya. Ini bukan pertama kalinya Oprah mengalami kejadian seperti ini. Pada tahun 2005, Oprah ditolak masuk butik Hermes di Paris.
Studi yang dilakukan oleh Universitas Harvard dan kasus yang menimpa Oprah Winfrey seharusnya membuat kita sebagai manusia berpikir, haruskah kita menilai sesama manusia dari status sosial, kemapanan finansial dan cara berbusana orang tersebut?