Liputan6.com, Jakarta Tiap desainer tentuk memiliki prinsip dalam berkarya. Apa prinsip yang dipegang oleh desainer Sapto Djojokartiko dalam merancang? Berikut wawancara khusus Lifestyle Liputan6.com dengan Sapto, Rabu (19/3/2014):
Apa kendala di bisnis ready to wear?
Advertisement
Kami sudah bikin berbagai koleksi dan memasarkan dengan berbagai macam cara, mulai dari social media, endorsment, dan lain sebagainya. Pada masa awal, kami stres juga karena dengan semua cara itu penjualan cuma satu atau dua buah dalam satu waktu. Ternyata memang perlu waktu untuk produk dikenal oleh orang-orang. Di bulan keempat, penjualan mulai meningkat. Kami dapat banyak masukan tentang cara berjualan, mulai dari penentuan produk-produk yang dibuat hingga tentang penetapan harga. Sampai saat ini pun kami masih terus belajar tentang industri fashion.
Menurut Anda, apakah masalah dalam menjual koleksi yang dibuat muncul karena masyarakat fashion Indonesia lebih western-minded?
Menurut saya sih nggak. Orang-orang Indonesia sudah mulai membuka mata ke produk-produk dalam negri. Yang paling penting ialah bahwa desainer Indonesia harus kreatif. Dalam membuat koleksi ready-to-wear, desainer harus bisa harus bisa memberikan sentuhan kreatifitas agar model pakaian yang dihasilkan memiliki sentuhan fashion.
Masalahnya adalah bahwa kreatifitas tersebut bisa berdampak pada biaya produksi yang tinggi, baik itu terkait dengan bahan, teknik jahit dan lain sebagainya. Tingginya biaya produksi tentu akan berdampak pada harga jual dan pada akhirnya berkaitan dengan jumlah penjualan.
Mana yang lebih Anda sukai, mendesain pakaian Couture atau Ready-to-wear?
Keduanya memiliki tantangan yang berbeda dan saya suka tantangan. Akan tetapi di satu sisi saya tidak ingin emosi saya terpancing dengan tantangan tersebut hingga berdampak pada dibuatnya sebuah rancangan yang tidak tahu akan diapakan setelah selesai dibuat.
Pada awal berkarir saya memang masih terpancing terlalu jauh dengan tantangan tersebut. Akan tetapi pada akhirnya pertanyaan yang harus diajukan pada sebuah rancangan adalah apakah rancangan tersebut akan dipakai oleh orang-orang. Hal inilah yang menjadi kontrol saya dalam berkarya. Menurut saya orang akan memberikan apresiasi lebih pada karya-karya yang terkontrol.
Apa nilai di balik sikap Anda untuk mengontrol kreatifitas dalam membuat sebuah rancangan?
Membuat desain yang riil. Itu yang menjadi nilai dalam kontrol saya pada kreatifitas mendesain. Riil bukan berarti bahwa rancangan tersebut dapat sekedar dipakai tapi juga memiliki sentuhan fashion yang tetap artistik namun tidak berlebihan. Saya ingin ketika seseorang memakai rancangan saya, orang tersebut terlihat indah tanpa membuat orang-orang sekitarnya merasa aneh dengan model pakaian itu.
Dengan nilai itu, bukankah Anda justru membuat masyarakat fashion Indonesia terperangkap dengan pakaian-pakaian bermodel siap pakai?
Menurut saya tidak demikian. Harus diakui bahwa sebagian besar orang memiliki kehidupan keseharian, jelas berbeda dari kehidupan selebriti di panggung. Yang paling penting adalah adanya hal-hal yang pantas diapresiasi lebih pada sebuah karya.
Saya ingin ketika orang melihat karya saya dari jarak yang lebih dekat, orang tersebut dapat mengeksplorasi detil-detil menarik yang tidak ditemui pada karya-karya siap pakai komersil. Itu yang berusaha dihadirkan dalam koleksi ready-to-wear yang saya buat.
Jadi dengan cara ini saya pikir saya tidak membuat masyarakat fashion Indonesia terjebak dalam selera ready-to-wear yang komersil. Intinya adalah menghadirkan value lebih dalam pada sebuah karya tanpa harus menjadi berlebihan.