Liputan6.com, Jakarta Hingga kini Uni Eropa diketahui masih melakukan kampanye hitam terhadap produk sawit asal Indonesia. Padahal jika Indonesia benar-benar menghentikan ekspornya ke Eropa, negara-negara di Benua Biru tersebut bakal menghadapi persoalan inflasi yang cukup besar.
Selama ini, negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa mendesak agar produksi minyak sawit berasal dari pengelolaan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Advertisement
"Tidak lagi tepat mempertanyakan apakah sawit itu sustainable apa tidak. Yang perlu ditanyakan bagaimana memproduksi sawit yang sustainable, yang ramah lingkungan," ujar Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi di Kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta, Jumat (21/3/2014).
Indonesia saat ini memberlakukan aturan tersendiri bernama Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) untuk produk minyak kelapa sawitnya. Bahkan aturan ini dianggap lebih ketat dibanding aturan sawit dunia yaitu Rountable on Sustainable Palm Oil (RSPO).
Sertifikasi ini dibuat karena Indonesia tidak bisa menerapkan aturan yang banyak diisi oleh pihak swasta asing (RSPO).
Saat ini produksi sawit dunia tercatat 60 juta ton dan baru 8,2 juta ton yang memiliki sertifikat ramah lingkungan. Porsi 48% dari produksi sawit ramah lingkungan ini diproduksi di Indonesia. "Ini Indonesia menjadi produsen kelapa sawit terbesar didunia," katanya.
Menurut Bayu, negara-negara Eropa tidak akan mengambil risiko untuk menolak sepenuhnya produk sawit dari Indonesia. Saat ini konsumsi sawit di Eropa mencapai 6,3% dan separuhnya berasal dari Indonesia. Selain itu, sawit Indonesia memiliki produktifitas 9 kali lebih tinggi dibanding minyak kedelai.
"Akan terjadi inflasi tinggi kalau mereka tidak menggunakan sawit. Jadi kalau mereka mensyaratkan harus sustainable, kita juga minta ini jangan diskirminasi," katanya.
Tak hanya sawit, pemerintah juga mendorong perlakuan yang sama untuk komoditas minyak kedelai dan minyak bunga matahari.