Lampion Puisi Menandai Berakhirnya ASEAN Literary Festival 2014

Pengunjung festival yang memadati area panggung utama di gerbang pintu masuk Taman Ismail Marzuki, Jakarta

oleh Yulia Lisnawati diperbarui 26 Mar 2014, 18:04 WIB
Pengunjung festival yang memadati area panggung utama di gerbang pintu masuk Taman Ismail Marzuki, Jakarta

Liputan6.com, Jakarta Pengunjung festival yang memadati area panggung utama di gerbang pintu masuk Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada Minggu (23/3) tampak sumringah dan berdecak kagum. Satu persatu dari mereka kemudian melepas lampion-lampion yang telah mereka tempeli puisi untuk terbang menuju langit.

 Pelepasan lampion disela-sela pembacaan puisi di panggung utama tersebut menandai berakhirnya gelaran ASEAN Literary Festival yang telah berlangsung tiga hari berturut-turut, dari hari Jumat 21 Maret 2014. Festival ini diusung oleh Yayasan Muara dengan dukungan penuh dari Hivos dan Kementerian Luar Negeri.

Festival sastra ASEAN yang kali pertama digelar ini turut dihadiri 50 pembicara yang datang dari negara-negara ASEAN dan non ASEAN. Selain dari Indonesia, juga ada dari Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, Vietnam, Myanmar, Brunei Darussalam, China, Korea, UK, Australia, Rusia dan Belanda.

Gelaran acara pada malam penutupan festival menampilkan pembacaan puisi oleh sejumlah sastrawan dan penyair ternama baik dari dalam maupun luar negeri. Di antaranya ada Martin Aleida, Joko Pinurbo, dan Remy Sylado yang masing-masing membacakan karyanya sendiri.

Dari Singapura, Isa Kamari turut membacakan tiga potongan sajak karya miliknya dengan cara bernyanyi. Sementara, Pete Lacaba asal Filipina membacakan sajak-sajaknya dalam bahasa tagalog. Sebelum berakhir, Cornelia Agatha, aktris dan juga pemain teater turut ambil bagian dengan membacakan sajak Wiji Thukul dan W.S. Rendra. Para pengunjung betah tak beranjak.
 Pembacaan puisi di panggung utama menjadi rangkaian dari perayaan sastra dalam ASEAN Literary Festival 2014. Selama tiga hari penuh, festival ini juga diisi dengan agenda seperti workshop, diskusi dan bincang-bincang mengenai sastra.

Dari beberapa diskusi dengan pembicara antar negara, terungkap betapa besarnya kontribusi penulis dalam masyarakat terutama untuk perjuangan akan keadilan dan kemanusiaan. Di samping itu, disadari juga akan pentingnya untuk menggalakkan penerjemahan karya antar negara ASEAN dan ke dalam bahasa Inggris sehingga bisa menjangkau publik lebih luas.

Pete Lacaba, penulis dan penyair asal Filipina yang hadir sebagai pembicara dan menyampaikan General Lecture dalam gelaran festival, mengungkapkan hal serupa. Menurutnya, setiap penulis sudah seharusnya menyampaikan akan kebenaran dalam setiap karyanya.

Foto dok. Liputan6.com

Tiga hari festival sastra ASEAN

Tiga hari perhelatan festival sangat ramai dan padat akan jadwal. Pada hari pertama, misalnya, festival telah sukses menggelar workshop bertajuk "Beyond Poetry Reading" dengan menghadirkan tiga pembicara, yakni Khairani Barokka dan Khrisna Pabichara dari Indonesia serta Low Kok Wai dari Brunei Darussalam. Ratusan peserta workshop tampak mengisi semua bangku yang tersedia di dalam gedung Teater Kecil Taman Ismail Marzuki Jakarta. 

Hal serupa juga terjadi di gelaran diskusi lainnya. Seperti diskusi dengan tema "Contemporary ASEAN Literature" dengan pembicara Andy Fuller (Australia), Isa Kamari (Singapura), dan Manneke Budiman (Indonesia), yang dimoderatori oleh Richard Oh pada hari kedua festival, Sabtu (22/3).

Lalu, ada diskusi dengan tema "Democracy, Human Rights and Literature" dengan menghadirkan pembicara Richard Oh dan Ning Ken dari China, dan moderator Laura Schuurmans. Secara paralel, di saat yang bersamaan, juga berlangsung diskusi "Literary Works under Totalitarian Regime" bersama Pete Lacaba (Filipina) dan Wijaya Herlambang (Indonesia) dimoderatori Nivell Rayda.
 Diskusi terakhir di hari kedua, membahas "Southeast Asian Literature and Colonialism" dengan pembicara Melani Budianta (Indonesia) dan Jamil Maidan Flores (Filipina) serta moderator Katrin Bandel.

Pada hari terakhir, empat diskusi berlangsung dari pukul 10.00 hingga 18.00 WIB. Di antaranya ada diskusi dengan tema "Ethnicity, Religion and Literature" dengan pembicara Andy Fuller dan Na Ye (China) dimoderatori Laura Schuurmans. Lalu, diikuti kemudian dengan diskusi bertemakan "Women and Literature" bersama Oka Rusmini (Indonesia) dan Choi Jeongrye (Korea) dengan moderator Saras Dewi.

Adapun dua diskusi berikutnya, yakni membahas tentang keberadaan kritik sastra dalam tema "Where does Literary Criticism Go?" dengan pembicara Katrin Bandel dan Wang Gan (China) yang dimoderatori Eka Kurniawan. Menjadi diskusi terakhir, ada "The Role of Literary Translation" yang membahas tentang dunia penerjemahan karya sastra bersama John McGlyn dan Kate Griffin, dimoderatori Ronny Agustinus.

Selain workshop dan diskusi yang hampir selalu penuh peserta, ada juga gelaran lainnya di tempat terpisah yang juga tak pernah sepi. Seperti pojok penulis atau Writer's Corner yang berupa diskusi atau bincang-bincang santai dengan tema beragam, dari mulai membahas sosok Wiji Thukul, penulis di area konflik, penulis penggerak komunitas hingga bagaimana kiprah penerbit indie di Indonesia.

Ada juga pojok sastra anak, Children's Literature yang menghadirkan pembacaan dongeng, menggambar dan mewarnai serta hadirnya PM Toh yang meramaikan suasana. Diskusi bersama penulis seperti Clara Ng, Icha Rachmanti dan Arswendo Atmowiloto juga menarik untuk diikuti.

Animo publik sangat besar selama tiga hari gelaran festival. Ada sekitar 5000 pengunjung yang memadati area Taman Ismail Marzuki, selama tiga hari perhelatan, dari mulai yang menghadiri diskusi, pojok penulis ataupun sastra anak. Tak ketinggalan untuk singgah di tenda-tenda milik penerbit dan komunitas yang berada di area sekitar festival.

Ada sembilan penerbit yang turut berpartisipasi, di antaranya terdapat penerbit Gramedia, Bentang Pustaka, PlotPoint, Gagas Media, Koekoesan, Kata Bergerak, Indie Book Corner, Buku Fixi dan Terfaktab. Sementara, juga ada komunitas Goodreads Indonesia, Lendabook, Barisan Pengingat, Nulis Buku dan Buku untuk Papua.

Untuk menambah ramai suasana festival, ada pula musik etnik yang dimainkan oleh kelompok musik ISI Solo, Sarampa dan Tadulako.

 ASEAN Literary Award

Sebelumnya, ASEAN Literary Festival juga memberikan penghargaan ASEAN Literary Award pada penyair Wiji Thukul yang diterima oleh perwakilan keluarganya, yakni Fajar Merah dan Fitri Nganthi Wani, putra dan putri Wiji Thukul. Seiring dengan penghargaan tersebut, juga turut diberikan hadiah uang senilai 50 juta rupiah.


Menteri Luar Negeri, Marty Natalegawa dalam kutipan pidato pembukaannya menyampaikan bahwa sangatlah tepat jika penghargaan ASEAN Literary Award diberikan pada Wiji Thukul.  Karena menurutnya, Wiji Thukul adalah seorang penyair, musisi dan juga pemain teater yang membawa kesadaran pada pembaca dan penikmat karyanya untuk tidak hanya mengapresiasi seni tapi juga menyuarakan akan hak dan keadilan sosial.

Selama tiga hari perhelatannya, ASEAN Literary Festival 2014 mendapat sambutan yang positif baik di social media maupun pemberitaan. Tidak tertutup kemungkinan, agenda festival ini akan menjadi ajang rutin tahunan dan dengan demikian akan ada harapan munculnya ASEAN Literary Festival 2015 dengan rangkaian acara yang lebih baik di tahun yang akan datang. 

Disclaimer:

Citizen6 adalah media publik untuk warga. Artikel di Citizen6 merupakan opini pribadi dan tidak boleh menyinggung SARA. Isi artikel menjadi tanggung jawab si penulisnya.

Anda juga bisa mengirimkan link postingan terbaru blog Anda atau artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas, kesehatan, keuangan, wisata, kuliner, gaya hidup, sosial media, dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.

Mulai Rabu 19 Maret 2014 sampai dengan 3 April 2014, Citizen6 mengadakan program menulis bertopik dengan tema "Apa Arti Pemilu Buatmu". Ada hadiah utama LinkSys Smart Wi-Fi Router untuk satu pemenang dan merchandise spesial untuk 5 tulisan terpilih. Syarat dan ketentuan bisa disimak di sini 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya