Uji Materi UU Pemilu, MK Minta Lembaga Survei Perbaiki Permohonan

erkara yang terdaftar dengan nomor registrasi 24/PUU-XII/2014 ini dimohonkan oleh Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepsi).

oleh Oscar Ferri diperbarui 27 Mar 2014, 15:36 WIB
Ancaman Perang Membayangi Ukraina - 4 Calon Hakim MK Ikuti Uji Kelayakan dan Kepatutan - Pemilik Panti Asuhan Samuel Jalani Pemeriksaan - Ratusan Buruh Kembali Berdemo - Sebuah Helikopter Mendarat Darurat di Kabupaten Siak, Riau.

Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Pemeriksaan Pendahuluan perkara Pengujian Undang-Undang (PUU) Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, DPRD (UU Pemilu). Perkara yang terdaftar dengan nomor registrasi 24/PUU-XII/2014 ini dimohonkan oleh Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepsi).

Dalam permohonannya, Pemohon menguji Pasal 247 ayat 2, ayat 5, dan ayat 6 serta Pasal 291, dan Pasal 317 ayat 1 dan ayat 2 UU Pemilu yang mengatur tentang pengumuman hasil survei maupun penghitungan cepat (quick count) terkait Pemilu.

"Pemohon merasa dirugikan atau berpotensi dirugikan hak-hak konstitusionalnya dengan berlakunya pasal-pasal itu," kata Staf Humas MK Kencana Suluh Hikmah ddi jakarta, Kamis (27/3/2014).

Pada sidang kedua ini, Majelis Hakim Konstitusi meminta para Pemohon memperbaiki permohonan uji materi Undang-undang Nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD dan DPRD (UU Pemilu).

"MK meminta kami memperbaiki permohonan," kata Ketua Persepsi Andi Syafrani usai sidang.

Andi menjelaskan, sejumlah hal mesti diperbaiki sesuai yang diminta majelis hakim yang diketuai Hakim Konstitusi Muhammad Alim serta Ahmad Fadlil Sumadi dan Patrialis Akbar sebagai anggota majelis. Salah satunya tentang akta notaris para lembagai survei yang tergabung sebagai Pemohon.

"Kita diminta memasukkan akta notaris lembaga survei dalam permohonan," ujar Andi.

Andi menerangkan, pihaknya mempermasalahkan Pasal 247 ayat 2, ayat 5, dan ayat 6 serta Pasal 291, dan Pasal 317 ayat 1 dan ayat 2 UU Pemilu yang mengatur tentang pengumuman hasil survei maupun penghitungan cepat (quick count) terkait Pemilu. Dalam Pasal 247 ayat 2 dan 5 itu diatur bahwa prakiraan hasil penghitungan cepat Pemilu dilakukan paling cepat 2 jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat, dianggap melanggar hak konstitusional warga negara untuk mendapatkan informasi.

"Pasal-pasal itu telah melanggar hak konstitusional warga negara untuk memperoleh informasi serta menghilangkan kebebasan berekspresi dan menyuarakan pendapat," terangnya.

Pemohon menyatakan bahwa pihak penyelenggara pemilu memiliki kewajiban untuk menyampaikan hasil penghitungan cepat tanpa dibatasi oleh waktu. Oleh karena itu pemberian sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 247 ayat 6, Pasal 317 ayat 1 dan 2 dinilai tidak relevan. Sebab hal itu hanya merupakan masalah administrasi semata.

"Berhubung dengan waktu pemilu yang makin dekat, maka kami meminta majelis hakim memutus perkara ini dalam waktu yang cepat," imbuh Andi.

Pada sidang perdana yang diselenggarakan Senin 24 Maret, Pemohon memaparkan penilaiannya bahwa survei sebagaimana hasil penelitian lain selayaknya dapat diumumkan kapanpun kepada publik. Pemohon menerangkan bahwa sistem penghitungan cepat bekerja berdasarkan penghitungan dan kecepatan. Dengan demikian pihak penyelenggara memiliki kewajiban untuk menyampaikan hasil penghitungan secepat-cepatnya tanpa dibatasi waktu.

Berdasarkan alasan-alasan tersebut, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 247 ayat 2, ayat 5, dan ayat 6 serta Pasal 291 dan Pasal 317 ayat 1 dan ayat  2 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya