Liputan6.com, Jakarta Pemerintah mengaku tengah menggodok sanksi hukum untuk para pengguna atau konsumen mobil murah dan ramah lingkungan (low cost green car/LCGC) yang ketahuan memakai bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Upaya ini dilakukan sebagai langkah untuk menekan pemakaian BBM subsidi yang tahun ini dijatah 48 juta kiloliter (kl).
Menteri Perindustrian, MS Hidayat mengungkapkan, pihaknya dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah menindaklanjuti kenyataan di lapangan bahwa banyak mobil murah menyedot BBM bersubsidi. Padahal spesifikasi kendaraan LCGC didesain untuk mengonsumsi pertamaks alias BBM non subsidi.
"Secara teknologi, dia (konsumen) harus pakai RON 92 atau pertamaks tapi pada praktiknya dia beli yang lebih murah. Sebenarnya itu merugikan dia sendiri, tapi karena barang milik dia jadi nggak bisa berikan sanksi," terang dia di Kantor Kementerian Bidang Perekonomian, Jakarta, Rabu (2/4/2014).
Namun saat ini, kata Hidayat, pemerintah sedang berencana memberikan sanksi bagi konsumen yang masih menggunakan BBM subsidi pada mobil murah.
"Sekarang lagi dipikirkan sanksinya apa. Ada beberapa usulan yang sedang dibicarakan tapi belum bisa ngomong karena akan disampaikan secara resmi oleh Kemenkeu," jelasnya.
Selain itu, dia mengatakan, Kemenkeu, Kemenperin dan Kemenko akan membuat workshop yang membahas secara teknis mengenai sanksi bagi pengguna kendaraan LCGC tersebut.
"Kita sedang cari cara kalau dia gunakan di luar ketentuannya misalnya nggak menggunakan pertamaks, selain mesinnya bisa rusak juga kena sanksi," papar Hidayat.
Lebih jauh dia menuturkan, pihaknya telah mendesain teknologi mobil LCGC yang mampu melakukan penghematan secara signifikan. Konsumsi BBM sebanyak 20 liter per km untuk mobil murah, sedangkan untuk non kendaraan LCGC sebanyak 13 liter per km.
"Tapi jangan lupa penghematan terjadi 60% jadi penggunaannya 8 liter per hari. Karena dihitung setiap penambahan satu unit mobil konsumsinya 8 liter per hari," ucapnya.
Dia memaparkan, konsep kendaraan LCGC pada dasarnya mempersiapkan produk tersebut untuk berkompetisi dengan mobil sejenis dengan negara-negara ASEAN terutama Thailand yang memproduksi mobil serupa.
"Kalau kita tidak melakukannya di Indonesia, kita akan impor dari sana karena permintaannya sangat tinggi," ujarnya.
Di samping itu, Hidayat mewajibkan kepada lima produsen untuk membuat industri perakitan dan lebih dari 100 pabrik industri komponen sudah berdiri di Tanah Air. "Jadi menurut saya bisa menumbuhkan industri otomotif untuk basis produksi di Indonesia," pungkasnya.
Advertisement