Liputan6.com, Jakarta - Persaingan capres PDIP Joko Widodo alias Jokowi dan capres Partai Gerindra Prabowo Subianto dianggap sebuah hal wajar. Sehingga tak perlu dijadikan permasalahan besar. Sikap saling sindir itu bisa menghangatkan suasana jelang Pilpres 2014 sebagai tahun politik.
"Bagus aja. Kan bisa menghangatkan suasana. Kalau nggak ada sindiran itu jadi senyap, hambar, asal jangan terlalu jauh," kata mantan anggota MPR (1998-1999) Sholahuddin Wahid di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (2/4/2014).
Persaingan Jokowi-Prabowo, menurut pria yang akrab disapa Gus Sholah itu, bisa menjadi perang politik jilid 2 setelah Megawati Soekarno Putri dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Namun, ia menilai, sindiran-sindiran tidak akan sampai membuat konflik besar.
"Perseteruannya nggak sampai ke sana. Itu hanya saling sindir. Nggak cukup panas untuk meledak" pungkas adik Gus Dur itu.
Ganggu Perhatian Publik
Advertisement
Terkait pernyataan Prabowo yang menyebut Jokowi seperti kacang lupa kulitnya --karena melupakan jasa dirinya yang telah menggelontorkan dana sebesar Rp 60 miliar saat Pemilukada DKI Jakarta 2012-- pakar politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro mengatakan, seharusnya permasalahan ini tak perlu diangkat ke publik, jika kesepakatan penggelontoran dana Rp 60 M tersebut jelas dan ada bukti kesepakatannya.
"Mestinya dikembalikan ke kesepakatan antara keduanya (Prabowo dan Jokowi). Bagaimana kesepakatan tersebut, sehingga penggelontoran uang Rp 60 M tidak mengganggu pertemenan antara relasi antar elit. Apalagi jika ini akhirnya meluas karena melibatkan publik," ujar Zuhro kepada Liputan6.com, Jakarta, Rabu (2/4/2014).
Meskipun sejauh ini perselihan Jokowi-Prabowo belum ditanggapi serius oleh publik, namun jika dilakukan secara berulang-ulang dengan memperlihatkan perselisihan keduanya maka, masyarakat dapat terganggu. "Isu ini memang tak mendapat perhatian husus publik, kalau beritanya diulang-ulang terus sedikit banyak akan mengganggu perhatian publik juga."
"Sindirin dan perang puisi politik di media menunjukkan bahwa terjadi communication breakdown, komunikasi politik yang tersumbat antar dua kekuatan politik (PDIP dan Gerindra) ini. Dampaknya, kampanye lebih diwarnai saling serang dan saling mengedepankan ego masing-masing," sambung Zuhro.
Perseteruan Jokowi-Prabowo ini mulai terlihat setelah PDIP mendeklarasikan Jokowi sebagai capres. PDIP dianggap melanggar perjanjian Batu Tulis, yang berisi bahwa Megawati harus mendukung Prabowo menjadi presiden pada Pemilu 2014.
Namun bagi PDIP, perjanjian tersebut dianggap sudah gugur. Sebab dukungan Prabowo kepada Megawati pada Pemilu 2009 gagal dimenangkan Megawati.
Perseteruan keduanya semakin terlihat saat kedua capres itu saling mengklaim telah mendapat dukungan dari beberapa kalangan. Di antaranya dukungan dari kalangan purnawirawan TNI dan Polri kepada Prabowo. Sementara Jokowi juga mengaku telah mendapat dukungan dari sejumlah purnawirawan, selain dukungan dari buruh. (Elin Yunita Kristanti)
Baca juga:
Peneliti: Purnawirawan Dukung Capres Hanya Politik Kesan
Purnawirawan TNI: Hanya Prabowo yang Penuhi Kualifikasi Presiden
Selain Ulama, Rhoma Mengaku Juga Didukung Purnawirawan Jenderal