Liputan6.com, Jakarta - Pemilu pertama di Indonesia memang digelar 1955. Tapi, ide soal pemilu sudah bergulir sejak 3 November 1945. Yaitu, saat Maklumat X atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta diterbitkan.
Maklumat itu memuat, pada poin pertama, anjuran pembentukan partai-partai politik. Plus, pada poin kedua, diimbuhi keterangan bahwa pemilihan anggota DPR bakal diselenggarakan pada Januari 1946.
Advertisement
Pada kenyataannya, pemilu baru bisa digelar 10 tahun kemudian. Ada berbagai sebab. Kendala utama adalah kondisi republik yang masih jauh dari stabil. Sejumlah perundingan digelar dengan Belanda; ada 2 kali agresi militer; bahkan pemimpin tertinggi, Sukarno-Hatta, sempat ditangkap dan diasingkan.
Namun, ada cukup indikasi bahwa pemerintah sesungguhnya punya keinginan untuk menyelenggarakan pemilu. Misalnya, dibuatnya UU No 27 tahun 1948 tentang Pemilu, yang kemudian diubah dengan UU No. 12 tahun 1949.
Pengamat politik Indonesia asal Australia, Herbert Feith, mencatat janji-janji menggelar pemilu telah dikemukakan berbagai kabinet sejak 1950. Tapi, sejumlah hambatan masih menghadang.
"Termasuk di antaranya urusan pemerintahan yang lebih mendesak dan gerakan menentang pemilihan umum yang dilancarkan sejumlah partai dan kelompok-kelompok anggota DPR sementera," tulis Feith dalam The Indonesian Election of 1955.
Lalu, terjadilah peristiwa 17 Oktober 1952 yang "memicu" percepatan pemilu. Peristiwa ini bersumber pada friksi di lingkungan Angkatan Darat. Kolonel Bambang Supeno tidak menyetujui kebijaksanaan Kolonel A.H. Nasution selaku KSAD. Ia mengirim surat kepada Menteri Pertahanan dan Presiden dengan tembusan kepada DPR Sementara tentang persoalan soal itu dan meminta agar Nasution dicopot.
Anggota parlemen dari PNI, Manai Sophiaan, bereaksi. Ia mengajukan mosi agar pemerintah membentuk panitia khusus untuk mempelajari masalah tersebut dan mencarikan solusinya. Hal ini dinilai para petinggi pimpinan AD sebagai upaya campur tangan parlemen dalam korps baju hijau.
Meriam Tank Diarahkan ke Istana
Pimpinan AD mendesak kepada Presiden agar membubarkan Parlemen. Desakan tersebut juga disuarakan sejumlah warga sipil dengan berdemonstrasi ke gedung DPR Sementara (waktu itu masih di Lapangan Banteng Timur) dan Istana Merdeka. Lalu, sejumlah tank muncul di Lapangan Merdeka (kini, Monas) dan pucuk meriam mereka diarahkan ke Istana.
Sukarno menolak tuntutan pembubaran DPR Sementara dengan alasan ia tidak mau menjadi diktator, namun akan berusaha mempercepat pemilu. Kabinet koalisi PNI-Masjumi-PSI yang dipimpin Wilopo pun bergegas membuat undang-undang pemilihan umum. Pada April 1953, regulasi itu akhirnya kelar dan disahkan.
Pada Desember 1953, Panitia Pemilu dibentuk. Anggotanya adalah perwakilan partai-partai. Di saat ini, Kabinet Wilopo sudah jatuh. Kabinet yang dipimpin Ali Sastroamidjojo (PNI) ganti berkuasa.
Dalam pemilu pertama ini, rakyat Indonesia memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante. Konstituante adalah lembaga yang diamanatkan untuk membentuk Undang-Undang Dasar baru, menggantikan UUD sementara 1950.
Pada 29 September 1955, masyarakat memilih anggota DPR. Lalu, pada 15 Desember 1955, rakyat memilih anggota Konstituante.
Saat pemilu digelar, Kabinet Ali Sastroamidjojo telah makzul. Burhanuddin Harahap (Masjumi) memimpin kabinet berikutnya. Gampang terbayangkan betapa tak stabilnya perpolitikan Indonesia saat itu.