Ketika Partai Agama, Nasionalis, dan Komunis Bertarung di Pemilu

Kejutan terbesar dilakukan Nahdlatul Ulama. Di DPR sementara, partai itu hanya punya 8 kursi. Pada 1955, melejit jadi 45 kursi.

oleh Yus Ariyanto diperbarui 06 Apr 2014, 21:53 WIB

Liputan6.com, Jakarta - Dijadwalkan pada Januari 1946, pemilu pertama sejak Indonesia merdeka baru digelar pada 1955. Diikuti 29 partai politik dan individu.

Rakyat diminta 2 kali memilih. Pada 29 September 1955, rakyat  memilih anggota DPR. Lalu, pada 15 Desember 1955, memilih anggota Konstituante.

Tingkat partisipasi terbilang mengagumkan, mencapai 91,41%.  Fenomena golput belum dikenal saat itu. Jumlah pemilih 43 juta tapi yang sah hanya sekitar 38 juta. 

4 besar dalam Pemilu ini adalah Partai Nasional Indonesia (PNI) mendapatkan 57 kursi DPR dan 119 kursi Konstituante (22,3 persen), Masjumi 57 kursi DPR dan 112 kursi Konstituante (20,9 persen), Nahdlatul Ulama (NU) 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante (18,4 persen), dan Partai Komunis Indonesia (PKI) 39 kursi DPR dan 80 kursi Konstituante (16,4 persen).

Kejutan terbesar dilakukan NU. Di DPR sementara, partai tersebut hanya punya 8 kursi. Pada 1955, melejit jadi 45 kursi.

Menurut pengamat politik Indonesia asal Australia, Herbert Feith, para analis telah meramalkan komposisi 4 besar itu. "...namun tak seorang pun yang menduga akan timbul pemilahan sangat tajam..." tulis Feith dalam The Indonesian Elections of 1955.

Partai terkecil dari 4 besar itu, yaitu PKI, meraih 4 kali lipat suara yang didapat partai terbesar di antara partai-partai kecil, yaitu PSII. Menempati urutan ke-5, PSII hanya meraup 8 kursi DPR dan 16 kursi konstituante.

Sarjana Amerika, Boyd R. Compton, mencatat PKI dan PNI bersaing keras di kalangan tradisionalis Jawa (abangan). Bedanya, PKI menang di wilayah miskin, PNI di lingkungan yang lebih makmur. Basis PKI di antaranya adalah Madiun dan Solo.

 

Pemilu yang Bersih

2 partai islam, Masjumi dan NU, punya basis berbeda. NU di wilayah timur Jawa. Sementara, Masjumi punya pendukung di Sumatera dan Jawa Barat."Hanya di beberapa tempat, 2 partai Islam itu benar-benar bersaing memperebutkan suara," tulis Compton yang saat Pemilu 1955 digelar tengah melakukan riset di Jawa.

Pemilu 1955 kerap disebut sebagai pemilu yang fair, adil. Feith bilang, salah satu kunci keberhasilan Pemilu 1955 adalah diwakilinya semua partai di dalam badan penyelenggara.

Memang, ada sejumlah usaha pemaksaan kehendak oleh pejabat lokal, tapi itu biasanya diimbangi usaha partai-partai lain yang melaporkannya kepada instansi yang lebih tinggi atau kepada wartawan.

Praktik intimidasi oleh pemuka partai juga terjadi, terutama di daerah-daerah yang dimonopoli satu partai. "Tetapi, keberhasilan partai-partai besar untuk mendirikan ranting di mana-mana menjadikan proses saling mengawasi umumnya cukup efektif," kata Feith dalam sebuah wawancara dan dimuat lagi dalam edisi terjemahan The Indonesian Elections of 1955.

Pemilu 1955 tidak disusul pemilu selanjutnya, pada 1960. Sebab, pada 5 Juli 1959, dikeluarkan Dekrit Presiden yang membubarkan Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD 1945.

Kemudian pada 4 Juni 1960, Sukarno membubarkan DPR hasil Pemilu 1955, setelah sebelumnya dewan menolak RAPBN yang diajukan pemerintah. Sang Presiden, menyusul Dekrit 5 Juli 1959, membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR) dan MPR Sementara (MPRS) yang semua anggotanya diangkat presiden.

 

Baca juga:

Pemilu 1955 Digelar Juga `Dipicu` Kegusaran Tentara

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya