Liputan6.com, Jakarta Melakukan pencegahan dengan kampanye kesehatan, membagikan kelambu hingga pemberian obat telah dilakukan Kementerian Kesehatan demi mengurangi kasus malaria. Tapi sejumlah wilayah Indonesia Timur tercatat angka kejadian malaria masih tinggi. Ada apa sebenarnya?
Guru Besar Biologi Lingkungan dari Pusat Penelitian Kesehatan dan Pengembangan Kementerian Kesehatan Indonesia, Prof. Dr. Supratman Sukowati menjelaskan bahwa titik masalah penyakit malaria adalah sulitnya pengendalian nyamuk di luar rumah.
Advertisement
"Memang di Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara dan Nusa Tenggara Timur kasus malaria masih tinggi. Masalahnya terutama pada kurangnya konsentrasi pencegahan di lapangan karena ketika kita sudah bagikan kelambu. Alat ini hanya bisa digunakan di rumah sedangkan yang di lapangan tetap terpapar nyamuk," kata Supratman di sela-sela acara Hari Kesehatan Sedunia di Kantor Kementerian Kesehatan, Jakarta, Selasa (8/4/2014).
Padahal, Supratman menilai, sebagian besar masyarakat di Indonesia bagian Timur memiliki mata pencaharian berkebun dan nelayan sehingga bukan tidak mungkin nyamuk Anopheles yang menyebabkan malaria bisa menggigit di luar rumah.
"Meski kelambu gratis dibagikan, tapi kan jumlahnya terbatas. Setiap rumah hanya dapat dua kelambu. Kelambu ini ada insektisidanya sehingga selain memproteksi orang di dalamnya, nyamuk juga mati. Namun apakah kelambu ini dibawa saat bekerja? Nggak kan. Jadi jelas penyebaran nyamuk di kebun atau ladang dan laut tinggi," jelas Supratman.
Tiga faktor lain yang membuat kasus malaria tinggi dikatakan Supratman yaitu:
- Banyak kubangan dan rawa di beberapa wilayah Indonesia Timur.
"Nyamuk anopheles di lima provinsi tersebut banyak berkembang biak di air yang tergenang, terutama di pinggiran hutan dan hutan itu sendiri. Ada pula di Jayapura karena disana banyak rawa dan kubangan," kata Supratman.
- Malaria dianggap biasa
Supratman berpikir masih banyak masyarakat yang menganggap ini kasus biasa. "Padahal kalau malaria menimpa seseorang, mereka kan tidak bisa kerja karena terjadi pembengkakan. Lama-kelamaan malaria juga dapat menurunkan kualitas kehidupan. Apalagi bila menyerang anak, dapat menurunkan kualitas otaknya."
- Adanya pemahaman yang keliru
Masalah lain menurut Supratman adanya adanya pemahaman keliru yang masih dipegang.
"Sakit malaria diobati sendiri dulu katanya. Mereka menggunakan obat lama di warung. Memang menurunkan demamnya, tapi perlu diketahui, obat itu tidak membunuh parasitnya. Dan akhirnya mereka jadi resisten atau kebal obat. Beruntung kita punya ACT (Artemisinin-based Combination Therapy) atau kombinasi obat antimalaria yang dapat mempersingkat waktu minum obat yang lama," ujar Supratman.
Supratman menambahkan, meninjau kasus malaria ini yang kompleks bila ditelusuri lebih lanjut, kebiasaan masyarakat Timur juga suka begadang. "Jadi pencegahan malaria mestinya tidak hanya intervensi tapi juga pemahaman masyarakat untuk proteksi diri agar tidak digigit nyamuk," tandasnya.