Dituding Langgar HAM, Ketua KPU: Tidak Ada Kesengajaan

Ketua KPU Husni Kamil Manik menampik lembaga yang dipimpinnya tersebut melanggar HAM.

oleh Taufiqurrohman diperbarui 11 Apr 2014, 11:14 WIB
Ketua KPU Husni Kamil Manik saat menunjukkan kertas suara sebelum mencoblos di bilik suara tempat pencoblosan (Liputan6.com/Miftahul Hayat)

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyebut Komisi Pemilihan Umum (KPU) melanggar HAM karena tidak mengakomodir hak pasien di rumah sakit dan mahasiswa pendatang di Yogyakarta pada Pemilu 9 April lalu. Namun, Ketua KPU Husni Kamil Manik menampik lembaga yang dipimpinnya tersebut melanggar HAM.

"Soal melanggar HAM, KPU sering dituduh macam-macam, yang penting tidak ada kebijakan yang sengaja untuk penghilangan hak warga. Semua diberi mekanisme, supaya bisa tertib," kata Husni kepada Liputan6.com di Jakarta, Jumat (11/4/2014).

Husni menyatakan, pihaknya melalui KPU daerah terkait sudah melakukan sosialisasi untuk mengadakan pemungutan suara di rumah sakit setempat.

"Kalau terkait di rumah sakit kita membentuk TPS (Tempat Pemungutan Suara) di rumah sakit apabila pengelola menyetujuinya. Kan sama dengan di rutan, lapas, atau tahanan kepolisian kita akan membuat TPS."

"Mekanismenya ada yang kita berikan surat dan ada pertemuan langsung. Ada yang tidak mau, tapi nggak sampai sedetail itu alasaannya, kenapa mereka (rumah sakit) tidak mau," imbuhnya.

Sama halnya dengan rumah sakit, jelas Husni, jajarannya sudah pernah melakukan koordinasi dengan universitas atau kampus setempat terkait mahasiswa luar daerah. Koordinasi dilakukan agar mereka masuk daftar pemilih tetap (DPT) di mana dia berdomisili dan mendirikan TPS di kampus terkait.

"Kalau penjelasan mengenai mahasiswa di Yogyakarta, ketika dibangun daftar pemilih 1 tahun yang lalu mereka sudah dikonfirmasi, organisasi mahasiswa sudah dihubungi, kampus-kampusnya dihubungi supaya mereka masuk DPT," terang Husni.

Dia menambahkan, bila para mahasiswa pendatang itu tidak masuk DPT, mereka masih tetap dapat menjadi pemilih dan dimasukkan ke dalam daftar pemilih khusus (DPK) agar hak pilihnya tidak hilang. Asal mengikuti mekanisme dan prosedur KPU.

Kemudian, lanjut dia, sosialisasi bagi yang tak masuk DPT bisa masuk DPK. DPK lebih lentur, yang tak punya identitas kependudukan bisa masuk. Jadi, tegasnya, peraturan sudah cukup akomodatif.

Jika memang pihak rumah sakit dan perguruan tinggi tersebut mengikuti mekanisme dari KPU, sambung Husni, maka tidak mungkin mahasiswa pendatang dan pasien di rumah sakit tidak bisa memilih. Sebab akan diberikan surat pindah memilih atau formulir A5.

"A5 bisa diterbitkan, KPU memberi kebijakan dipermudah. H-10 bisa dikeluarkan oleh KPU tujuan. Kenapa H-10 prosesnya? Gunanya untuk ada waktu proses pencatatan administrasi," jelas Husni.

(Shinta Sinaga)

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya