Meski PDIP Juara, Jokowi Effect Kalah Kuat dari Prabowo Effect

Dibandingkan Partai Gerindra, kenaikan suara PDIP pada Pemilu 2014 lebih kecil.

oleh Silvanus Alvin diperbarui 11 Apr 2014, 15:06 WIB
Jokowi dan Prabowo saat Pilkada DKI Jakarta 2012 (Antara/Yudhi Mahatma)

Liputan6.com, Jakarta - PDIP menjadi jawara dalam hitung cepat Pemilu 2014 dengan perolehan suara sekitar 19%, atau naik 5% dibanding pada 2009 sebesar 14,03%. Dibandingkan Partai Gerindra, kenaikan suara PDIP itu lebih kecil.

Pada Pemilu 2009, Partai Gerindra meraih suara sebanyak 4,46%. Suara partai besutan Prabowo Subianto itu naik berkisar 7% menjadi sekitar 11% pada Pemilu 2014.

Direktur Riset Indikator Hendro Prasetyo menjelaskan, perbandingan kenaikan perolehan suara 2 partai itu membuktikan Jokowi Effect tak sebanding dengan Prabowo Effect. Faktor pembedanya adalah Prabowo merupakan pendiri partai, sedangkan Jokowi hanya kader dadakan.

"Itu 2 konteks berbeda (antara Jokowi Effect dan Prabowo Effect). Prabowo yang sejak awal dirikan Gerindra. Sama seperti pendiri Demokrat yaitu SBY sehingga intensifnya Prabowo lebih lama dan kuat ke masyarakat," jelas Hendro kepada Liputan6.com, di Jakarta, Jumat (11/4/2014).

Atas perbedaan tersebut, jelas Hendro, kurang adil bila membandingkan seorang Ketua Dewan Pembina sekaligus pendiri partai dengan seorang yang hanya kader. "Kalau Jokowi disandingkan kurang fair, konteks berbeda. Dia bukan pendiri PDIP dan dia bukan pengurus inti PDIP. Jokowi jadi perbincangan ketika jadi Gubernur di Jakarta. Untuk itu kita nggak bisa bandingkan Prabowo dan Jokowi terhadap efek ke partai," papar Hendro.

Terkait perbedaan suara di mana kenaikan Gerindra cukup signifikan, Hendro melihat hal itu disebabkan karena mesin partai pimpinan Prabowo itu bekerja dengan baik. Buktinya, hampir di seluruh daerah Gerindra mendapat suara meski tak jadi pemenang. Hal itu mengesankan Gerindra sebagai partai nasionalis.

"Kalau mau lihat kenapa kenaikan PDIP segitu, saya kira kita harus sertakan faktor internal PDIP yang selama ini komunikasi politik kurang maksimal. Sebetulnya aset PDIP besar tapi dalam kampanye aset kurang dimaksimalkan," bebernya.

Misalnya saja, lanjut Hendro, banyak kepala daerah yang berpotensi seperti Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Walikota Surabaya Tri Rismaharani tak dimaksimalkan dalam kampanye. "Pak Pramono Anung yang populer juga ke mana? Ini tampaknya mereka nggak maksimal dari kampanye dan ekspos media. Ini kelemahan komunikasi politik selama ini, hanya tergantung Jokowi semata," pungkas Hendro.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya