Liputan6.com, Jakarta - Ekonom mengusulkan jumlah setoran dividen 2014 dapat diturunkan untuk memperkuat modal perbankan dalam menghadapi persaingan ke depan.
"Mungkin dividen bisa ditekan menjadi 10%-15% dan digunakan sebagai laba ditahan untuk memperkuat modal. Mungkin setorannya kepada pemerintah akan turun, tapi secara jangka panjang, pengaruhnya terhadap pajak bisa lebih besar," ujar Aviliani, Ekonom Bidang Pengkajian dan Pengembangan Perhimpunan Bank-ban Umum Nasional (Perbanas), di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Senin (14/4/2014).
Advertisement
Sebelumnya Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah menetapkan jumlah setoran dividen oleh perbankan milik pemerintah sebesar 30% dari total laba yang diperoleh. Hal itu tertuang dalam peraturan Kementerian BUMN pada 2013.
Aviliani menjelaskan, penurunan dividen itu nantinya akan lebih dialihkan untuk penguatan modal perseroan dalam menghadapi persaingan. Selain itu, penggunaan laba ditahan untuk meminimalkan risiko pengaruh global.
Dia memperkirakan, industri perbankan perlu tambahan modal mencapai Rp 113 triliun pada 2015. Untuk itu, pengurangan dividen mencapai 50% tersebut akan sangat berarti mengingat industri pasar modal di Indonesia hanya memiliki kapasitas sekitar Rp 30 triliun.
"Dengan setoran dividen sebesar 30% itu akan terasa memberatkan dan menyulitkan bank untuk melakukan ekspansi usahanya ke depan," kata Aviliani.
Kondisi pengetatan likuiditas yang menjadi risiko perbankan kedepan dapat terlihat salah satunya dari rasio pembiayaan terhadap pendanaan atau loan to deposit ratio (LDR). Mengacu data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terbaru, per Januari 2014, rasio likuiditas atawa loan to deposit ratio (LDR) bank pelat merah sebesar 89,84%.
Angka ini melonjak 8% dibandingkan periode sama di tahun 2013 yang sebesar 81,84%. Salah satu biang kerok ketatnya likuiditas bank BUMN adalah lonjakan kredit.
Sepanjang periode Januari kemarin, pertumbuhan kredit bank pelat merah sebesar 22,64%. Di akhir Januari 2014, total kredit bank BUMN mencapai Rp 1.159,58 triliun. Angka ini lebih tinggi dibandingkan target Bank Indonesia (BI) yang menganjurkan bank mengerem kredit di level 15%-17%.
Penyebab lain adalah, pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) yang tidak mampu mengejar pertumbuhan kredit. Di awal tahun ini, DPK bank-bank persero hanya tumbuh 11,71% menjadi Rp 1.290,65 triliun, dari sebelumnya Rp 1.155,29 triliun di tahun 2013.