Liputan6.com, Jakarta Kamis 20 Maret 2014, T menemukan memar di perut putra kesayangannya, A. Di sebelah kanan, sekitar 40 cm lebarnya. Perempuan itu curiga dan mempertanyakannya. "Saya tanya kenapa. Dia jawab ndak tahu. Dia bilang kebentur," kata T kepada Liputan6.com.
Sehari kemudian, giliran bocah 6 tahun itu yang bertanya pada sang ibu. "Mami punya teman yang badannya kayak Hulk (tokoh superhero), coba tolong panggilin dong. Karena ada orang nakal di sekolah," kata T menirukan pernyataan putranya. "Kemudian saya tanya siapa yang nakal? Kata dia ada orang yang bersih-bersih toilet yang nakal dia bilang (pelaku) pukul saya. Terus terjadi pelecehan seksual.”
Peristiwa bejat itupun terkuak. Bocah A menjadi korban kekerasan dan pelecehan seksual 2 petugas petugas kebersihan di toilet sekolahnya. Pengakuan buah hatinya bak petir di siang bolong. Sedih, kalut, bercampur marah dirasakan. Namun, alih-alih diam, T melawan. Ia melapor ke Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polda Metro Jaya pada 24 Maret 2014.
Advertisement
Dan Indonesia pun heboh. Para orangtua mengelus dada, prihatin. Dunia pendidikan ikut tercoreng. Bagaimana bisa tindakan biadab bisa leluasa dilakukan terhadap seorang bocah berusia 6 tahun di sebuah institusi pendidikan? Apalagi, kejadiannya di sebuah sekolah bertaraf internasional di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pun bereaksi. Mereka menemui pihak sekolah untuk mempertanyakan kejadian tersebut. Pertemuan berlangsung Selasa 15 April 2014.
Komisioner KPAI Erlinda mengatakan, pihak sekolah mengaku lalai dalam merekrut outsourcing. Sekolah kurang selektif dalam memilih pekerja, meski pun sudah melakukannya melalui prosedur yang berlaku.
"Mereka beralasan ini akibat salah memilih outsourcing. Padahal mereka mengklaim sudah lakukan SOP (standar operasional prosedur) dalam merekrut pekerja outsourcing," ujar Erlinda saat dihubungi Liputan6.com di Jakarta, Rabu 16 April 2014.
KPAI juga menyayangkan, tidak adanya pendampingan khusus yang dilakukan pihak sekolah terhadap anak-anak murid khususnya taman kanak-kanak di toilet. "Kalau menurut mereka tidak ada pendampingan terhadap anak-anak," kata Erlinda.
Alasan pihak sekolah tidak melakukan pengawasan adalah untuk melatih kemandirian. Namun, hal itu disayangkan Erlinda. Sebab, murid taman kanak-kanak masih rentan. "Namun kan tidak bisa dilepas gitu saja. Boleh saja mandiri, tapi dari jauh harus diperhatikan oleh guru. Anak TK itu kan gampang sekali terpeleset dan terjatuh kalau ke toilet. Bukan (hanya) yang mengarah yang ke pelecehan ya. Kenapa tidak ada pengawasan," tutur Erlinda.
KPAI juga menerjunkan tim investigasi. Jika ditemukan sekolah melakukan kelalaian, maka harus menerima sanksi. "Sanksinya bisa pembinaan, pengawasan sampai penutupan sekolah," kata Erlinda.
Selain melakukan investigasi ke pihak sekolah, KPAI, tambah Erlinda, juga akan meminta pihak sekolah untuk bertanggung jawab penuh terhadap penyembuhan korban. "Kami inginkan sekolah untuk bertanggung jawab penuh dan bersedia melakukan pendampingan secara psikologi dan moral untuk si anak," tambah dia.
Sementara, pihak sekolah mengaku siap bekerjasama dengan pemerintah untuk menyelesaikan kasus yang tengah menjadi sorotan itu.
"Kami hadir di sini untuk menyampaikan kepada Kementerian Pendidikan mengenai insiden yang memprihatinkan yang terjadi di sekolah kami," kata kepala sekolah Tim Carr di Gedung Kemendikbud, Jakarta, Rabu kemarin. "Kami akan terus bekerja sama secara erat dengan Kementerian Pendidikan, pihak kepolisian, dan institusi pemerintah lainnya."
Tim menuturkan, sekolahnya siap mencari jalan keluar terbaik atas insiden yang menimpa bocah malang itu. Dia juga berjanji akan memperketat keamanan para siswa selama berada di sekolah. "Fokus utama kami selama ini dan ke depannya adalah untuk mengedepankan kesejahteraan siswa dan keluarganya, serta keamanan dan keselamatan dari komunitas sekolah kami," ucapnya.
Izin Bermasalah
Selain pelaku harus dihukum seberat-beratnya, keluarga korban juga meminta pemerintah menindak tegas sekolah international di Pondok Indah lantaran TK di sekolah tersebut ilegal. TK itu ternyata tidak terdaftar dalam Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
"Keluarga menuntut penyelenggara yang ilegal ini dan pemerintah harus menghukum tegas, siapa yang menyelenggarakan ini," kata Kuasa hukum keluarga korban Andi Asrun di Gedung E, Kemendikbud, Jalan Jendral Sudirman, Jakarta, kemarin.
Tak hanya itu, keluarga korban meminta pemerintah khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk menutup sekolah bertaraf internasional tersebut. "Kita minta ditutup dan ganti rugi sekalian. Ilegal kok dibiarkan, karena ada korban. Untuk itu polisi harus bertindak kalau perlu pasang police line di situ," tegas Andi.
Sebelumnya, Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini Nonformal dan Informal (PAUDNI) Kemendikbud, Lydia Freyani Hawadi mengatakan lembaga pendidikan tempat bocah A bersekolah itu ilegal. Alasannya, taman kanak-kanak internasional tersebut tak mengantungi izin untuk menggelar proses belajar mengajar.
"Taman kanak-kanak itu bisa dikatakan demikian (ilegal) karena cuma ada izin mengajar dari SD saja,” ujar Lydia.
Lydia menegaskan, pihak sekolah tempat terjadinya pelecehan seksual terhadap bocah A itu harus mengurus perizinan dalam waktu sesingkat-singkatnya. Bila tidak, pihak Kemendikbud siap memberikan sanksi tegas, yaitu menutup sekolah yang terletak di kawasan Jakarta Selatan itu. "Bisa saja ditutup untuk TK-nya. Kita harus menegakkan peraturan di republik ini," tegasnya.
Lydia menerangkan pihaknya memberikan batas waktu seminggu untuk penyelesaian masalah izin. Di sisi lain, menurut Lydia pihak sekolah mengatakan tak mengetahui untuk proses belajar mengajar tingkat taman kanak-kanak memerlukan izin dari Dirjen PAUDNI.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M Nuh menegaskan, terlepas dari ada atau tidaknya izin operasional sekolah tersebut, lembaga pendidikan itu sudah gagal memberi perlindungan terhadap anak didik. Karena itu, sanksi berat sudah menunggu.
"Tidak bisa memberi perlindungan anak saja kami akan memberi sanksi, apalagi kalau tidak ada izin. Kok berani melakukan operasional yang memberikan layanan publik," lanjutnya.
Meski akan memberikan sanksi pada sekolah, penyelidikan yang dilakukan Kemendikbud tidak sampai ke ranah kriminal. Jika dalam kasus ini unsur kriminal terpenuhi, pihak Kemdikbud akan menyerahkan proses hukum ke kepolisian. "Kalau urusan kriminal, itu urusan kepolisian," tandasnya.
Hanya 2 Tersangka
Sejauh ini polisi baru menetapkan 2 tersangka dalam kasus pelecehan seksual bocah A. Dua ‘predator’ anak itu berinisial AI dan VA. Keduanya pria dan bekerja sebagai petugas kebersihan di sekolah korban. Seorang perempuan berinisial AF yang awalnya diduga terlibat, dilepaskan.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Pol Rikwanto mengatakan, penyidik mencabut status tersangka AF, juga petugas kebersihan di sekolah bertaraf internasional di Jakarta Selatan itu.
“1 Orang wanita belum terbukti, kita tidak lakukan status tersangka dan masih saksi,” kata Rikwanto di Markas Polda Metro Jaya, Jakarta, Rabu kemarin.
Rikwanto menambahkan, status saksi yang diberikan kepada Afriska lantaran tidak terbukti dalam tindak kekerasan dan pelecehan seksual. "Hanya ketemu korban di toilet pada saat dia menangis," tambah Rikwanto.
Dia menjelaskan, kedua pelaku memang sengaja mengincar korbannya yang ingin ke toilet sekolah. Mereka kemudian memperhatikan siapa korbannya yang dapat diperdaya
Sebelumnya, Rikwanto mengungkapkan, penyidik telah memeriksa 9 saksi terkait kasus tersebut. Para saksi itu adalah yang dekat dengan korban.
"9 saksi itu termasuk guru dari pihak sekolah, kepala sekuriti, para orangtua korban, dan beberapa lainnya dari pihak sekolah yang perlu dilakukan pemeriksaan," kata Rikwanto.
Rikwanto menambahkan, tak ada CCTV yang mengarah ke toilet tempat bocah A mengalami tindak kekerasan dan pelecehan seksual. "Di sekolah tersebut sudah terpasang cukup banyak CCTV di sudut tertentu. Tapi yang mengarah ke toilet, saat itu belum terpasang," kata dia.
Rikwanto menambahkan, setelah dilakukan pengecekan oleh pihak kepolisian, pihak sekolah langsung memasangkan CCTV yang mengarah ke toilet.
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait mempertanyakan keputusan pihak kepolisian melepaskan AF.
Arist memaparkan, seperti termaktub di UU Perlindungan Anak, bagi siapa yang memfasilitasi terjadinya pelecehan seksual terhadap anak-anak, maka itu juga dikategorikan sebagai kejahatan pidana.
"Jangan dibebaskan, harus dihukum juga. Karena menurut pengakuan keluarga korban dia yang membantu pelaku melakukan pencabulan kepada sang anak. Dia juga yang menutup pintu toilet," kata Arist. Alasan lain, "Si perempuan itu tidak melapor itu, pembiaran. Karena UU Perlindungan Anak, yang memfasilitasi kejahatan harus dipidana."
Lebih jauh, Arist mengatakan, pihaknya akan mendesak polisi agar diberikan tuntutan Pasal 82 UU Perlindungan Anak sebagai tuntutan primer dengan maksimal kurungan 15 tahun penjara. Sedangkan subsidernya Pasal 390 KUHP tentang pelecehan seksual dengan ancaman 7 tahun. "Kalau dia (AF) terbukti berkomplot, dia kena pasal berlapis," pungkas Arist.
Hukuman berat harus dijatuhkan pada para predator seksual, yang membuat anak-anak trauma dan menderita seumur hidup. (Muhammad Ali)