Liputan6.com, Jakarta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Tunai (PPATK) mencatat telah menerima laporan transaksi tunai dari berbagai pihak sebanyak 14 juta laporan. Laporan itu terkumpul sejak berdirinya lembaga independen ini pada 2000 lalu.
Kepala PPATK, Muhammad Yusuf mengatakan, sampai dengan saat ini pihaknya telah mengantongi 70 juta data nasabah. Data tersebut dimanfaatkan untuk memberantas tindak pidana pencucian uang dan mengoptimalkan pengembalian keuangan negara.
Advertisement
"Selama PPATK berdiri, sudah ada 162 ribu laporan transaksi keuangan, 14 juta laporan transaksi tunai. Jika diasumsikan satu laporan Rp 1 miliar, maka nilai laporan transaksi tunai hingga sekarang mencapai Rp 14 ribu triliun," ungkap dia di kantornya, Jakarta, Kamis (17/4/2014).
PPATK mengimbau kepada seluruh pengguna barang dan jasa, seperti broker barang antik dan lainnya untuk melaporkan transaksi tunai senilai Rp 500 juta ke atas pada PPATK.
Dia menuturkan, laporan ini diperoleh berkat kerja sama dengan berbagai pihak. Hingga bulan ketiga tahun ini, PPATK telah memiliki 71 nota kesepahaman dengan instansi dalam negeri, terdiri dari kementerian, universitas, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Lanjut Yusuf, pihaknya juga menggandeng Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) untuk menciptakan sistem informasi terpadu, sehingga penegak hukum tak perlu lagi mengalami kesulitan saat menjalankan tugasnya.
"Kalau dulu saat Kepolisian Republik Indonesia (Polri) minta informasi atau data, kami harus minta izin dulu ke 120 bank. Bayangkan kalau satu bank prosedur izinnya 3 hari, masa butuh waktu setahun untuk minta data. Itu mah keburu pelakunya pergi dan duitnya habis," terang Yusuf.
Yusuf mengaku, hasil dari kerja PPATK sudah terlihat. Putusan pengadilan terkait tindak pidana pencucian uang tercatat sebanyak 107 kasus dengan hukuman maksimal 17 tahun dan denda maksimal Rp 15 miliar.